Sabtu, 13 September 2014

Pengantar Pesan

"Desain bangunan dan tata letak pencahayaannya bagus. Pasti dia ngebayar mahal arsitek yang ngedesain bangunan ini," Celoteh Mona sambil memperhatikan bangunan kantor yang bergaya Eropa dengan kaca lebar dan pintu besar.

Seseorang berjas memperhatikannya sejak tadi. Sedikit tersenyum. Tapi, tetap bungkam untuk terus mengamati Mona. Tidak banyak yang berteduh di tempat itu. 

Ya, Bekasi sedang tidak seperti biasanya, kota patriot itu sedang diguyur hujan disertai angin sore itu. Mona berdiri di depan pertokoan untuk meneduh dari hujan yang semakin lebat, dia meminggirkan posisi motornya agar tidak kehujanan. Merapikan semua surat-surat dan memasukkan ke dalam ranselnya yang anti air. Entah sudah berapakali ia harus meneduh dan terpaksa menghentikan perjalanannya karena hujan angin yang terus mengguyur Bekasi beberapa hari belakangan ini. Tak sedikit juga motor-motor yang memilih meneduh di sini daripada terus menerjang hujan dan jalanan yang sudah mulai digenangi banjir.

"Maaf, kamu kurir?" Tanya seorang pria dari sisi kanan Mona.

"Iya betul," Jawab mona singkat dan belum sempat memandang si pemilik suara itu, karena ia sibuk membenahi surat-surat agar muat masuk ke dalam ranselnya.

"Unik yah."

Mona mengeryitkan dahi dan memalingkan wajahnya ke orang itu. " Unik apanya? Biasa aja." Gadis itu kembali merapihkan surat-surat yang sedikit basah dan sesekali menngelap air di amplop-amplopnya.

"Saya baru pertama kali ngelihat perempuan kerja jadi kurir," ujar pria tersebut. "Dan, suka memperhatikan bangunan."

 "Emangnya salah kalau perempuan kerja jadi kurir terus suka merhatiin interior bangunan? Nggak semua perempuan harus jadi koki rumah, kan?" Balas Mona.

Pria berjas lengkap tersebut tersenyum tipis. "Emangnya jadi kurir itu pekerjaan yang menyenangkan?"

"Semua pekerjaan bakal menyenangkan kalau dikerjain dengan hati, Pak" jawab Mona dengan lugas, seperti sudah ribuan kali ia ditanyakan hal itu.

Melihat hujan mulai reda, Mona merapatkan resleting ranselnya, melangkah mendekati motornya sambil memakai helm fullface-nya.

"Saya duluan ya, Pak," Mona melempar senyum simpul pada pria tadi, Gadis itu sudah terbiasa memberikan senyumannya pada setiap orang yang ia temui, maklum saja. Seorang kurir bertemu ratusan orang yang berbeda tiap harinya.

"Tunggu sebentar," pria itu merogoh sesuatu dari kantung jasnya dan mengeluarkan sebuah kartu nama, " ini kartu nama saya, kalau kamu berubah pikiran dan merasa bosan sama kerjaan kamu. Kamu boleh temuin saya."

"Oke," Kata Mona sambil menerima kartu nama itu lalu bergegas menyalakan motornya.

Lagi-lagi pria itu hanya tersenyum tipis dengan sejuta makna. Motor Mona melesat dan meninggalkan ruko bercat abu-abu tua, tempatnya berteduh tadi.

><>< ><><
Keesokan harinya.

Fisik Mona sudah biasa berjam-jam dipaksa mengendarai motor dengan tumpukan amplop di sisi kiri-kanannya. Kemacetan, Polusi udara, dan teriknya panas matahari sudah menjadi makanan sehari-hari yang ia cerna. 

Gadis ini adalah satu-satunya kurir perempuan di cabang Bekasi Selatan, ia tak pernah canggung dan tak sedikit pun ada rasa malu saat mengantarkan paket atau surat ke penerimanya. Di pikiran Mona, "Selama aku tak berbuat salah kenapa aku harus malu?"

Mata Mona sering memperhatikan bangunan-bangunan yang ia lihat di jalan mulai dari model minimalis, mewah, sampai yang bergaya kebarat-baratan dengan pilar besar yang menopangnya. Bagi Mona, melihat bangunan-bangunan itu adalah cara menghibur diri dari kepenatan macet di kota Bekasi ini. Ternyata menghibur diri itu mudah.

Mona duduk di sebuah kafe yang buka dua puluh empat jam dan tak begitu ramai. Design kafe ini sangat baik dengan sedikit campuran industrialis dan kontemporernya, membuat pengunjungnya tak akan jenuh jika duduk berjam-jam di sini. Di tambah lagi dengan alunan musik jazz yang menggema keseluruh ruangan. Aroma pewangi ruangan ini juga menjadi alasan Mona masih duduk bersandar, melepas lelahnya. Entah wangi apa itu, somthing too sweet.

Tangan kanan Mona mengambil ponsel dari saku jaketnya dan tak sengaja kartu nama dari pria berjas tadi ikut terambil bersama ponselnya, "Surya Ilham, Owner The Kings Coffee, Bekasi Selatan" Mona terdiam sejenak dan menengok ke depan pintu kafe itu malalui jendela besar di dekatnya, lalu mengarahkan matanya pada sebuah poster yang menempel di papan kayu besar berukir motif bernuansa Mandarin tepat di atas pintu masuknya yang bertuliskan, "Kings Coffee, More Than The Coffee".

Moa mngeryitkan matanya. Ini kafe yang orang itu maksud? Ah, ini cuma kebetulan,” Batin Mona.

“Mba, nama pemilik kafe ini Surya Ilham ya?” Tanya Mona pada seorang pelayan yang berseragam lengkap.

“Iya, Mba kenal?”

“Ng-nggak, saya pernah ditawarin kerja di sini.”

"Oh, terima aja, Kak! Pak surya itu orang blasteran Cina-Bandung, jadi beliau bisa ngeliat mana orang yang nggak punya potensi dan mana orang yang berpotensi," jelas pelayan itu sambil mengepel lantai hitam-putih yang tersusun rapi sebagai alas kafe ini.

“Mbak tau dari mana Pak Surya blasteran Cina-Bandung?” Tanya Mona penasaran.

“Pak Surya suka cerita kalau lagi rapat, nama asli beliau itu Sun Ji. Beliau dari keluarga Cina miskin di Bangka. Karena dia mau ngangkat finansial keluarganya, dia nekat ngerantau ke Jakarta. Kerja ini-itu belasan tahun, sampe sekarang udah bisa bangun kafe ini. Hebat yah beliau!” Jelas pelayan itu bersemangat.

Penjelasan itu membuat Mona terkaget-kaget dan tak habis pikir, ia lemas dan sangat tak percaya. "Surya adalah Sun! Sun sahabat dekatku sejak SMP yang selalu menemaniku dihukum di kelas, selalu membantuku belajar matematika di belakang kantin, yang selalu membelaku saat aku di-bully teman-teman. Dia cinta pertamaku, pangeranku yang lama pergi merantau ke Jakarta lalu pergi hilang entah ke mana," batin Mona.
Kakinya sudah lemas untuk berdiri dan perlahan air matanya keluar jatuh melintasi pipi lembutnya dan jatuh ke lantai dingin kafe itu, semakin deras dan semakin pilu rasa rindu yang membuncah hatinya saat ini.

"Kakak kenapa, apa kakak sakit?" Pelayan itu membantuku berdiri dan memapahku untuk duduk di kursi kayu halus di dekat kasir.

"Ti, tidak." Mona tak mampu mengeluarkan suara apapun, kerongkongannya mengering dan seakan ribuan momen indah bersama Sun melintas di pikirannya. Klise-klise kebersamaan dengan Sun telah ia simpan rapih di kotak kaca hatinya dan telah lama tak dibuka bahkan ia ingat-ingat lagi.

"Wajah kakak pucat banget. Saya, ambilin air hangat dulu yah, Kak," Pelayan itu pergi, masuk ke sebuah pintu besar bertulisan ‘Dapur’.

CRING!

Suara lonceng di pintu depan yang didominasi dengan kaca transparan, menandakan ada seseorang yang masuk ke restoran dari pintu depan. Mona menghapus air matanya, tak mau lagi ada orang lain yang melihat ia sedang menangis.

Ternyata yang masuk adalah Sun. Dia tersenyum simpul melihat Mona, “Wah cepat sekali kamu berubah...” Kata-kata Sun berhenti, senyumnya pun memudar saat memperhatikan mata Mona yang sembap.

“Kamu kenapa nona kurir?” Tanya Sun dengan khawatir..

“Sun, kenapa dari awal kamu nggak bilang kalau kamu itu SUN!” Mona berteriak sambil mendorong Sun.

Bibir Sun beku seketika, dia tak percaya mengapa Mona bisa tahu secepat ini. “Ma.. maaf, Mona,” Sun menarik napas panjang, “Sebenarnya dari pertama aku ngeliat kamu, aku udah yakin itu kamu. Di tambah liontin yang kamu pakai itu.” Sun menunjuk liontin putih yang tergantung di leher Mona.

“Kenapa nggak bilang langsung?!’ Tangisan Mona semakin menjadi, menggema ke seluruh ruangan mengalahkan alunan musik jazz.

“Aku mencari waktu yang tepat.”

“Untuk apa?!” Mona menutupi mulutnya dengan tangan karena tak kuat lagi menahan rasa rindunya.

“Untuk melamarmu.”

Kata-kata itu membuat tubuh Mona lemas dan tersungkur, tenggelam dalam pelukan tubuh Sun yang tegap.

“Maafin aku ya. Kamu nggak bosen nungguin aku, kan?"

Mona menggelengkan kepalanya sambil menahan dirinya yang mulai kehilangan kesadaran.


Cerpen ini diikut sertakan pada #Tantangan #DeskripsiInterior  daari @KampusFiksi. Semoga masih nyambung sama tema dan semoga nggak ada typo. :)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar