Kamis, 05 November 2015

Review The Martian: "Kentang dan Lakban"

“I'm going to have to
science the shit out of
this.”
— Mark Watney

(9/10)

Terjemahan "Aku harus gunakan ilmu untuk
keluar dari sini" dari kutipan ikonik "I'm gonna
have to science the shit out of this" dalam
The Martian nggak sepenuhnya mampu
merepresentasikan optimisme, kepercayaan
diri, dan gaya slenge'an Mark Watney ( Matt
Damon ) setelah tertinggal di Mars dan harus
bertahan hidup disana selama hampir 2 tahun
sebelum diselamatkan kembali oleh rekan-
rekannya di NASA.

The Martian adalah
penghormatan terhadap ilmu pengetahuan dan
intelegensi manusia yang dihadirkan dengan
cara yang realistis tapi menghibur. Ini adalah
film space-adventure dan/atau survival-
thriller dengan nuansa paling menyenangkan
yang pernah gue tonton.

Dengan keahliannya menangani fiksi-ilmiah
dan atensinya yang super pada detail, Ridley
Scott ( Alien, Blade Runner ) akhirnya
mendapatkan naskah yang tepat — diadaptasi
oleh Drew Goddard dari novel laris yang ditulis
Andy Weir; dan membuat astronot serta
ilmuwan (khususnya ahli botani) terlihat keren,
dan bukan hanya karena mereka memakai
kostum yang (sebenarnya emang) keren bamget. Dan kalian nggak bakal bisa dapetin di toko-toko terdekat.

Teknisnya, Mark bukan tertinggal, melainkan
sengaja ditinggalkan oleh kru Ares III yang
dipimpin oleh Melissa Lewis ( Jessica
Chastain) karena menganggapnya telah tewas
terkena badai dahsyat yang menimpa stasiun
mereka di Mars. Mark ternyata selamat meski
terluka. Sayangnya, pesawat Lewis dkk telah
berangkat untuk pulang ke bumi.

Berbekal
kecerdasannya, Mark harus berusaha bertahan
hidup sendirian selama beberapa tahun ke
depan hingga misi Mars berikutnya, Ares IV
dilakukan. Paling tidak, dia bisa berlindung di
dalam pangkalan NASA di Mars yang diberi
nama Habitat dan memanfaatkan properti
yang tersisa seperti rover, panel surya, dan
lakban (serius, lakban punya peran yang
krusial di sini).

Persediaan makanan yang tertinggal di stasiun
Mars terbatas, jadi Mark harus mengeluarkan
kemampuannya sebagai ahli botani dan
berhasil menanam kentang memanfaatkan
tanah Mars yang dicampur "limbah organik"
manusia serta menciptakan air dari hidrogen.
Saking cerdasnya, dia juga berhasil melakukan
komunikasi terbatas dengan pangkalan NASA
di bumi. Mendapat berita ini, petinggi NASA
Teddy Sanders ( Jeff Daniels), Vincent Kapoor
( Chiwetel Ejiofor) dan Mitch Henderson ( Sean
Bean ) merencanakan misi untuk
menyelamatkan Mark sembari merahasiakan
hal ini dari kru Ares III dengan harapan agar
mereka tak terganggu dalam misinya pulang
ke bumi.

Pun punya banyak nama tenar, film ini
sebenarnya berfokus pada Mark dan usahanya
melawan hal yang tampaknya tak mungkin,
dengan bekal sains dan teknologi. Agar
penonton bisa mengerti bagaimana dia
melakukan hal ini — dan mungkin juga untuk
tujuan pamer kecerdasan dan selera humor,
Mark merekam dan menjelaskan teori sains
yang diterapkannya via jurnal video. Kita tak
perlu memperdebatkan keakuratan secara
ilmiah, karena Scott juga menggandeng teknisi
NASA, James L. Green. Katanya belaiu memang pakar di bidangnya.

Semua tampaknya berjalan lancar, namun
Mark nggak bisa hanya duduk manis dan
menunggu NASA menjemputnya, karena tanpa
alasan yang nggak begitu terjelaskan, Habitat
mengalami malfungsi dan Mark harus
berkendara dengan rover berdaya baterai
terbatas sejauh 3.000 km lebih dengan akomodasi
yang terbatas pula.

Konflik juga bertambah
saat rencana penyelamatan nggak berjalan mulus
dengan pertimbangan efektivitas, keselamatan,
waktu, dan biaya yang tak sedikit.
Dengan Jessica Chastain, Kate Mara, dan
Michael Pena yang bermain sebagai kru Ares
III, nggak sulit sebenarnya menebak alur film,
poin yang sebenarnya mendegradasi ancaman
utama yang dihadirkan. Namun Goddard dan
Scott menyuguhkan jalan menuju ending yang
terprediksi tersebut dengan atmosfer dan detail
yang nggak konvensional untuk ukuran film
seperti ini. Plus, The Martian tak pernah
kehilangan momentum meski berdurasi lebih
dari 2 jam.

Karakterisasinya cenderung datar dan nggak
pernah menggali sisi psikologis dengan dalam.
Mark adalah orang optimis dan bisa dengan
cepat bangkit kembali, meski sempat
mengalami depresi. Namun untungnya Damon
memancarkan pesona alami untuk membuat
kita terikat dengan Mark yang cerdas namun
juga kekanak-kanakan. Karakter lain juga one-
note tapi menarik melihat bagaimana orang-
orang cerdas ini saling berinteraksi dalam satu
gelombang di balik jargon-jargon ilmiah yang
njelimet .

Di samping menjadi popcorn entertainment
yang berkualitas, film ini membuktikan dengan
cara yang meyakinkan bahwa kentang adalah
tanaman yang tangguh dan lakban bisa
dipakai untuk memperbaiki, well nyaris apapun. Keren!

Review The Last Wich Hunter:"Ambisi Besar, Eksekusi Kasar"

“You know what I'm
afraid of? Nothing.”
— Kaulder

(4,5/10)

Modernisasi boleh aja terus berkembang,
namun penyihir tetap eksis dan ternyata
mereka nggak jauh berbeda dengan kita. Mereka
mengggunakan mobil, smartphone, dan hobi ke bar.

Penyihir-penyihir ini menyatu dengan manusia
normal dan hanya orang-orang tertentu yang
mengetahuinya, termasuk Kaulder ( Vin Diesel ).
Bersama dengan organisasi Kapak dan Salib,
Kaulder menjaga keseimbangan dunia antara
manusia dan penyihir.

The Last Witch Hunter
menciptakan semestanya kebanyakan dengan
CGI dan di beberapa poin, cukup meyakinkan.
Berbeda dengan Harry Potter , penyihir tak
perlu memakai tongkat untuk
The Last Witch Hunter disini tentu saja
adalah Kaulder.

Dia membasmi penyihir jahat
dan membiarkan yang lain selagi tak
membahayakan manusia. Untuk memainkan
karakter ini, Diesel tak peerlu berbuat banyak.
Pada dasarnya, Kaulder adalah Dominic
Toretto versi non Fast & Furious , tetap
dengan gaya slenge'an, seringai songong dan
one-liners yang konyol namun terdengar
meyakinkan. Dia telah membasmi penyihir
sejak 800 tahun yang lalu. Bagaimana
mungkin?

Sang sutradara memulai filmnya dengan kisah
awal mula Kaulder mendapatkan keabadian.
Bersama dengan rombongannya yang super-
macho, Kaulder yang dulunya berjenggot tebal
melaksanakan misi ke tempat persembunyian
Ratu Penyihir.

Melalui sekuens aksi yang
sedikit sulit dimengerti gara-gara setting yang
gelap dan editing yang terlalu cepat, Kaulder
berhasil membunuh Ratu Penyihir, namun dia
dikutuk untuk tak bisa mati dan harus
menyaksikan orang-orang tercinta pergi
mendahuluinya.

Di masa sekarang, Kaulder yang telah
beradaptasi dengan dunia modern, menjadi
pemburu penyihir yang ditakuti. Dia
mempunyai seorang rekan/asisten yaitu Dolan
ke-36 ( Michael Caine) yang kemudian
menyerahkan jabatannya pada Dolan ke-37
( Elijah Wood ).

Cerita menjadi menarik saat
Kaulder melakukan investigasi karena Dolan
ke-36 ditemukan tewas di hari berikutnya dan
terungkap konspirasi untuk membangkitkan
kembali Ratu Penyihir. Untuk mencegahnya,
Kaulder harus kembali menelusuri masa lalu
dengan bantuan penyihir muda yang menarik,
Chloe ( Rose Leslie ). Sementara sutradara lain
mungkin akan memanfaatkannya untuk
mendukung kompleksitas narasi atau moralitas
Kaulder, yang satu ini hanya berfungsi sebagai
pemasok backstory.

The Last Witch Hunter adalah film yang
ambisius namun nggak bisa lepas dari jebakan
film aksi-fantasi standar. Trio penulis: Cory
Goodman, Matt Sazama, dan Burk Sharpless
menambahkan berbagai bumbu pada
premisnya yang tipis, meski tetap diisi dengan
dialog-dialog yang garing. Saat kita mulai
bosan mendengar percakapan antarkarakter
yang chemistry-nya sedikit dipaksakan, tensi
kembali dinaikkan dengan adegan aksi,
walaupun tak bisa dibilang spesial. Sekuens
aksi yang melibatkan banyak CGI disajikan
terlalu cepat, yang menciptakan kebingungan.

Termasuk saat Kaulder melawan Sentinel,
makhluk raksasa menyerupai laba-laba, yang
membuat penonton tak tahu apa yang
sebenarnya terjadi hingga adegan berakhir.
Selain Diesel, Leslie tampil lumayan disini.
Namun, Caine tak punya peranan yang
signifikan selain berbaring tak bernyawa atau
memberi narasi pada penonton. Anda mungkin
akan melupakan karakter Elijah Wood, hingga
akhirnya tampil kembali dalam plot twist di
adegan klimaks. Dan bicara soal adegan
klimaks, eksekusinya terlalu diburu-buru dan
terasa berantakan karena pembuat filmnya
merasa perlu untuk mengisyaratkan adanya
sekuel.

Satu kelebihan dari The Last Witch Hunter
adalah bagaimana Eisner berhasil menyajikan
plot yang berbelit-belit menjadi terlihat cerdas
karena beberapa poin detailnya telah
dipersiapkan jauh sejak awal. Namun tak lebih
dari itu. Film ini punya prospek menjanjikan
dari premis yang telah banyak didaur ulang,
tapi sulit untuk menyebutnya sebagai film
aksi-fantasi yang spektakuler.

Jumat, 25 September 2015

Review Everrst: A Team






(7,5/10)⭐ Everest.

Pegunungan Himalaya mempunyai pesona tanpa batas. Pendaki amatir (yang cuma sekedar iseng) samapi profesional mempertaruhkan nyawanyq untuk bisa berada di puncak tertinggi di 8.848 meter di atas permukaan laut.

Universal Pictures & Cross Creek Pictures mengangkat kisah nyata pada 10 Mei 1996. Kisah ini adalah salah satu tragedi terbesar dalam sejarah pendakian puncak Everest.

Kisah yang sampe saat ini masih abu-abu, siapa yang salah dalam kejadian itu hingga menelan 12 pendaki tewas diterjang badai salju. Rob adalah seorang pendaki profesional yang menjadi pemandu ekspedisi puncak Everest di bawah naungan Adventure Consultans. Ia membuka peluang bagi siapa saja yang ingin mendaki puncak tertinggidi dunia. Bersama tim yang telah mengenal Everest, Mike, Ang, dan Harold. Rob membawa klien menuju puncak tertinggi.

Kliennya pun dari berbagai macam profesi. Semua persiapan dari fisik sampai logistik dikumpulkan. Cuaca yang cerah dan persiapan yang matang mereka yakin akan berada di puncak tertinggi pada 10 Mei 1996. Pendakian pun dilakukan, halangan dan rintangan bisa dilewati dengan kerjasama dan kesetiakawanan yang erat.

Rob sadar udara yang cerah, membuat seluruh pendaki dari mancanegara ingin berada di atas pada 10 Mei. Hal ini membuatnya bekerjasama dengan rombongan Scott  dari tim Mountain Madness. Dua leader pendaki ini bekerjasama untuk membawa rombongannya naik ke puncak dengan cara dan pola yang berbeda. Untuk melewati maut, leader yang terkenal di Everest ini keduanya saling bergotong royong dan saling percaya.

Rob berhasil membawa rombongannya ke atas puncak kecuali Beck yang tertinggal karena masalah penglihatan. Beda sama Rob, Scoot tak mampu melewati halangan di jalur-jalur yang ada.

Bebereapa rombongan ada yang sampai ke puncak namun Scoot sendiri terjebak di jalur sempit. Rob dan Doug harus melewati jalur yang terjal.

Kesulitan makin jadi, saat fisik mereka melemah sedangkan badai datang. Oksigen yang menipis membuat konsentrasi mereka memudar.

Berbagai penyakit dalam cuaca dingin pun mereka rasakan. Saat berjalan di jalur setapak, Doug tiba-tiba menghilang. Perjuangan Rob mengantarkanDoug tak terbayar, karena sahabatnya lebih memilih menjatuhkan diri untuk meringankan beban Rob menuju basecamp.

Rob sendirian. Basecamp selaku pusat komando mencari keberadaan sang pemimpin. Adventure Consultans tak ingin sang pemimpin meninggal di atas puncak. Adventure Consultans menghubungi istri Rob.

Komunikasi Rob dan istrinya sukses bikin gue terharu. Di momen ini, Rob memberi nama anak perempuannya Sarah lewat sambungan radio. Film Everest ini lebih banyak tentang drama ketimbang action. Perbincangan Rob dengan basecamp selaku pusat komando dan sang istri lebih kuat ketimbang aksi mereka ketika mendaki atau turun. Jason mampu menjadi sosok leader yang mengayomi dan tak pantang menyerah.

Dalam kisah itu Scoot juga punya andil, sementara Jake mampu membuat pangling mata penonton. Jake di Everest beda banget sama Jake yang ada dalamThe Day After Tomorrow. Yap, itu sedikit review gue dari Everest. Gue nggak bisa banyak berkomentar karena inu film based on true story ternekad yang pernah gue lihat.


Kamis, 24 September 2015

Review Hotel Transylvania 2 : 'Konsep Realita'







(7/10)⭐
Film animasi yang mengisahkan Count si Dracula sang pemilik Hotel Transylvania di mana para monster menginap di HT tersebut. Du Hotel Transylvania 2 cerita mengisahkan peristiwa tujuh tahun sesudah film HT dirilis, yaitu saat anaknya Count, Mavis menikah dengan seorang manusia bernama Jonathan. Jo yang telah menikah dengan Mavis akhirnya ngebantu sang mertua menjalankan bisnis penginapan ini dan memperbolehkan manusia untuk bermalam di Hotel Transylvania.

Kebahagiaan keluarga kombinasi itu semakin bertambah karena Mavis dan Jo dikaruniai seorang bayi, Dennis.

Tapi, keberadaan Dennis malah jadi sebuah kekhawatiran buat Count. Secara, sang cucu belum menunjukkan kemampuannya sebagai seorang vampir.

Di sisi lain, Mavis mikir kalau putra berambut ombak itu adalah seorang manusia dan ingin mengajaknya pindah ke tempat pemukiman manusia.

Di situasi galau dan dinamika keluarga kolaborasi itu, Count yang tak ingin cucunya pindah dari Transylvania, ia nyusun  rencana sama temen-temen monsternya (yang sama sekali nggak ngebantu) -- kayak Frankenstein, Werewolf, The Invinsible Man, Murray si Mummy -- untuk melatih Dennis jadi seorang vampir sejati.

Dennis nggak bisa terbang, punya kekuatan super ataupun tak bisa berubah jadi kelelawar.Kita lalu melihat Dracula mengajari Dennis menjadi vampir. Ia diajak menakuti orang hingga ke kamp pelatihan vampir-vampir bocah.

Di sini konflik utamanya filmnya lalu berkembang. Cucu Dracula yang juga anak Mavis, Dennis kelihatan lamban perkembangannya sebagai sesosok vampir.

Sayangnya usaha si Dracula ini kurang berjalan dengan sempurna. Dennis dilatih terbang, nakut-nakutin orang, dan makan daging rusa. Tapi semua gagal.

Setelah itu sabagai kakek Dracula, Vlad,  datang dan mengetahui HT juga dihuni manusia. Termasuk cicitnya, Dennis.

Keluarga HT 2 ini menawarkan humor dan kelucuan saat dunia yang berbeda bertemu, dunia dedemit dan manusia. Bila di film pertama fokusnya pada ayah yang over-protektif di film kedua si ayah (Dracula) yang telah jadi kakekingin cucunya sehebat dirinya.

Berhasilkah upaya sikakek Drakula mengubah cucunya jadi vampir?

Tapi bukan pertanyaan apa Dennis akhirnya jadi vampir atau tidak yang membuat Hotel Transylvania 2 ini tontonan nyenangin.

Sejatinya, baik Hotel Transylvania pertama dan kedua ini berkisah tentang kita, para manusia.

Kisah seorang ayah yang over-protektif pada putrinya yang mulai mengenal lawan jenis manusiawi banget dan universal. Hal tersebut nggak cuma terjadi di dunia vampir, tapi juga dunia manusia di kebudayaan mana aja. Begitu juga kisah tentang kakek yang sayang cucu dan ingin cucunya jadi hebat seperti dia.

Pun di Hotel Transylvania 2 ini kita ketemu Mavis, sang ibu, yang tak mempermasalahkan putranya bakal jadi vampir atau manusia. Sikap Mavis ini cerminan sifat ibu yang baik yang bisa Anda temukan di belahan dunia mana pun. Seorang ibu akan menganggap putranya sosok terbaik. Ibu tak pernah menganggapanaknya cacat atau punya kekurangan hanya karena tak jadi vampir. Di sini kemudian Hotel Transylvania 2 tak hanya fun ditonton, tapi juga terasa dekat dengan kita. Asli Disney selalu bikin gue 'nyes'.


Sabtu, 12 September 2015

Review No Escape: Kurang Faktor Gregetnya!

Rate (5/10) ⭐

"Dad, are people trying to kill us?"

Lagi-lagi Amerika bikin film nekat. Ya film ini kembali menunjukan bahwa Amerika dengan segala kemajuannya, memampangkan diri sebagai negara peradaban tingakat satu.

Sesuatu yang terasa kontroversial itu merupakan isi dari No Escape, sebuah action thriller Family dimana “American awesome, Asian awful.” Menariknya ini cukup lucu.

Seorang engineering dari USA bernama Jack membawa serta istrinya Annie dan dua putri mereka Lucy dan Beeze (kala au nggak salah)  menuju sebuah negara di kawasan Asia Tenggara (tidak disebutkan) di mana ia akan mencoba membangun karir barunya.

Segala sesuatu udah nggak bersahabat sejak mereka tiba di bandara. Meski pada akhirnya sampai di hotel berkat bantuan pria berewokam bernama Hammond, masalah tidak menjauh dari Jack.

Televisi, lampu, dan telepon dikamar hotel mereka nggak berfungsi dengan baik, bahkan untuk nyari koran USA Today aja sulit. Celakanya ketika hendak memenuhi hal terakhir tadi Jack bencana datang menghampiri Jack, hal yang memaksa ia dan keluarganya untuk mencari jalan keluar dari negara yang udah seperti zona perang itu.

Di bagian awal lo bisa nilai kalau apa yang ingin Sutradara sampaikan sebenarnya baik, dari sinopsis aja sudah hadir kesan bahwa cerita ingin 'memberikan' lo bagaimana berharganya keluarga, tapi sayangnya yang terjadi setelah itu adalah sebuah petualangan flat dan lesu yang membuat judul film ini jadi terasa kurang.

Si kuat dan si lemah, dan uniknya, dengan berlandaskan isu rasial yang terasa banget meski udah berusaha nyembunyiin, seperti nggak nyebutin nama negara yang Jack kunjungi misalnya.

Gue pribadi agak terganggu sama isu rasis tadi, dan sayangnya saya ditambah rasa kantuk karena  bingung dan monoton. Sumber bingungnya berasal dari kurangberhasilnya menemukan komninasi tepat antara thriller, action, drama, horror, bahkan komedi. Komedinya sangat dikit,deg-degammya kurang greget.

Hasilnya semua itu saling numpuk, walaupun thrill yang ia punya terhitung oke tapi gue nggak dapet titik tertinggi yang bisa ngebuat gue menahan napas dan deg-degan. Hal yang wajar jika judulnya adalah Escape, bukan No Escape.

Dari sana pula rasa monoton muncul, dan itu berasal dari cerita yang bergerak cepat. Gue yakin No Escape sebenarnya punya peluang besar untuk menghibur penonton dengan memberikan mereka kegelisahan pada cerita dan karakter, tapi disini No Escape terlalu santai, mereka buat semuanya tampak sederhana dan minim banget.

Sistem No Escape ini tidak salah tapi terasa lemah. Tekanan untuk lolos pada karakter utama nggak kuat, rintangan yang ia hadapin juga nggak kuat, tekanan dari antagonis kurang banget, kepanikan dan aksi ekstrim yang seharusnya tampak menyeramkan justru terasa datar. Mungkin pemainnya kurang minum-minuman yang 'roso-roso' itu. Sisi mental dramanya kopong.

Tapi point yang masih bisa gue ambil di sini adalah sisi perjuangan orangtua terhadap anak. Mereka rela mati, terluka, terjatuh, tertimpa demi keluarganya tetap utuh.

Selasa, 25 Agustus 2015

Review Inside Out: Paket Lengkap

(8,8/10) ⭐

Kenapa gue bilang ini film Pixar yang  'paket lengkap?'

Check this one out.

Main storynya ada pada emosi makhluk hidup yang dibagi menjadi 5 entitas yaitu Joy (senang), Disgust (jijik), Anger (kemarahan), Fear (takut), dan Sadness (sedih). Selanjutnya, cerita berfokus pada seorang anak perempuan yang bernama Riley.

  Riley hidup bahagia bersama keluarganya di Minnesota dan para emosi itu mengisi pikiran Riley dengan banyak kenangan bahagia. Tapi itu berubah saat Riley harus pindah ke San Fransisco mengikuti sang ayah.

Ternyata di tempat baru ini Riley mengalami kesulitan beradaptasi dan mengakibatkan kehidupannya menjadi suram. Well, gue rasa mayoritas kita pernah ngalamin hal ini.

  Dan masalah itu diperparah dengan adanya konflik antar emosi,  di mana nantinya Riley harus hidup dengan 3 emosi saja karena Joy dan Sadness menghilang. Rasa senang dan sedih hilang. Bayangin rasanya!

  Penyampaian story-nya sangat baagus (simple dan plotnya jelas), banyak banget feel yang bisa dirasakan saat menonton film ini, akan lebih baik lagi jika dibandingkan dengan pengalaman pribadi. Jadi, penonton diajak untuk berkaca atau mencerminkan dirinya sendiri.

The Mind Mechanism

  Cara kerja pikiran makhluk hidup dalam film ini digambarkan dalam sebuah markas (Headquarter) diamna ke 5 emosi saling bergantian mengatur emosi Riley dengan menggunakan panel yang ada.

(The Headquarter )

  Tiap hari, Riley memproduksi memori yang digambarkan dalam bentuk bola berwarna (yang keliatanya mirip sama bola di Zuma Deluxe). Sesuai emosi yang dia rasakan (kuning = Joy, biru = sadness, merah = anger, ungu = fair, dan hijau = Disgust), dan saat Riley tidur memori-memori tersebut dibawa ke Long Term memory untuk diproses lebih lanjut (memilah mana yang disimpan dan mana yang dibuang) saat Riley tidur.

  Dari semua memori yang ada, ada memori penting yang disebut 'Core memory', memori ini penting karena bisa membuat pulau 'kepribadian' dan menjadi sumber tenaga untuk pulau tersebut.

  Unik banget! Ruang produksi mimpi, ruang khayalan dan imajinasi, dan ruang-ruang lain yang mendukung dalam pembentukan karakter Riley.

  Nah udah mulai ngerasa film ini wajib dinikmatin, kan? Bareng temen, saudara, orangtua, pacar, temennya pacar, orangtuanya pacar, dsb. Intinya film ini film terbaik dari Pixar yag pernah gue tonton.

Oke, Stop ya!. Gue spoiler banget. Gue cuma bisa saranin lo nonton ini segera, dan jangan harepin blueray-nya!

Senin, 10 Agustus 2015

Review ‘Mission: Impossible - Rogue Nation’

Belum bosen liat aksi Papah Tom Cruise, kan ?

Papah Tom balik lagi dengan perannya sebagai Ethan Hunt, agen andalan IMF (Impossible Mission Force). Mudah-mudahan gue nggak keceplosan ngasih spoiler di review ini~

Shoot awal yang udah bikin tegang bikin penontong langsung deg-degan.

Scene diambil pada saat IMF  harus menghentiin sebuah pesawat yang membawa hulu ledak. Walaupun hasilnya nggak sepenuhnya gagal, IMF dibubarkan karena seseorang misterius berkacamata  menggagalkannya.

Brandt dan Benji sekarang harus bekerja CIA karena IMF ditutup, sementara Ethan Hunt harus bersembunyi dari kejaran CIA. Tapi dalam persembunyiannya, Hunt terus nyari seorang pria misterius berkacamata  yang dia yakin punya kekuasaan di Syndicate.

Syndicate ini adalah organisasi dengan anggota yang nggak kalah jagonya dengan Hunt. Ditambah lagi, mereka adalah orang-orang yang udah dinyatakan hilang atau tewas. Syndicate ini pengin banget ngacurin IMF,  dan setelah IMF dibubarin mereka emang jadi lebih getol bikin onar. Yang tadinya cuma organisasi kriminal ‘biasa’ sekarang mulai merambah ke politik setelah mereka berusaha membunuh tokoh pemerintahan.

Dalam petualangannya, Hunt bertemu seorang cewek bernama Ilsa  (kalo gak salah) yang punya hubungan putus-nyambung dengan Syndicate. Kelihatan jelas kalau sebenarnya dia bukan benar-benar anggota Syndicate. Nah si Ilsa ini agak bikin penonton bingung diawal-awal karena kadang serong kanan- kadang serong kiri.

Walaupun kayak orang buangan, Hunt dan kawan-kawan tetap memburu si pria misterius berkacamata sampai akhirnya semakin dekat dengan kebenaran soal Syndicate.

Tom Cruise termasuk di jajaran para produser untuk film ini. Kita bisa dikasih view menarik ala Inggris, Austria, dan Maroko lewat lokasi-lokasi yang dipakai di film ini.

Overall, ada beberapa bagian yang terasa agak ngebosenin. Temponya yang lumayan cepat bikin kita nggak punya pilihan selain ngikutin alur sambil deg-degan.

Selebihnya, aksi Papah Tom lumayan bikin tegang meski usianya tak lagi muda. Dan humor dari karakter Benji,  serta interaksi Hunt dengan kawan-kawannya cukup menghibur. Dan Mungkin untuk film-film Mission: Impossible aksi-aksi gila ini yang lebih diutamain. Yang paling keren mungkin aksi kejar-kejaran moge (motor gede) kecepatan tinggi di perkotaan bikin hati sakit. Nyicilnya lama, ngamcurinnya sebentar.

“You’re nothing without me,”

Penasaran? Saksiin sendiri deh aksi Papah Tom tanpa stuntman!