Cerita ini dibuat dengan sebenar-benarnya, dan diikutkan dalam tantangan Menulis @KampusFiksi dengan tema #KabardariJauh
Mendoakanmu
dari sini adalah caraku melepaskan
rindu sosokmu..
Mendoakanmu
setiap pagi adalah caraku memeluk
erat bayang tubuhmu..
Aku
percaya semua akan indah pada waktunya..
Aku Rendy, mahasiswa tingkat satu yang sibuk mengisi
hari-hari dengan tugas yang datang bertubi-tubi. Maklum, mahasiswa baru memang
seperti ini.
Namun, di hari-hari suntukku berubah sejak ia datang dan
memberikan senyum simpulnya padaku, Rara.
Meskipun Aku dan dia berjauhan, sejak ia memutuskan untuk
menjadi pramugari, tapi Rara selalu meyakinkanku pentingnya sebuah kepercayaan.
Aku dan Dia selalu
kuat menghadapi cobaan dalam hubungan ini. Orang ketiga, kesibukan, dan
tentunya jarak. Ia selalu meyakinkanku bahwa cinta akan menembus ruang dan
waktu.
Bahkan, ketika
kenyataan tidak sejalan dengan apa yang kurencanakan. Semua susunan kisah yang
sudah kugambar rapi, hilang dan musnah begitu saja. Memang benar Manusia yang
merencanakan, Tuhan yang menentukan, dan orang-orang yang berkomentar. Percuma
rasanya jika berharap.
“Rendy, kamu nggak
lupa hari ini, kan?”
“Nggak, Ma. Nanti Rendy ke sana.” Aku menggigit bibirku,
menahan rasa nyeri di dada.
Bola mataku terpaku memandangi foto-foto kita berdua di ponsel,
sosok yang hari in tepat tiga tahun ada di dalam perjalanan hariku. Pemberi
semangat dengan pesan singkat yang bertuliskan “selamat pagi sayang”, moodboaster
yang selalu mampu membangkitkan semangat di setiap Aku putus asa, dan selalu menjadi sosok pendamping yang tegar menghadapi masalahku. Mataku tersengat
rasa kerinduan.
Kacelakaan pesawat kala itu, membuatku menjadi alergi
untuk menaiki pesawat. Aku paham betul, ajal akan datang kapan pun dan di mana
pun. Namun, semenjak Rara pergi dengan cara tak lazim itu, membuat duka
mendalam pada semua orang yang mengenalnya. Terutama aku.
Jariku menggser layar telepon, log in ke dalam akun Instagram
miliknya. Kupandangi foto-foto yang telah lama ia upload.
Jariku terdiam saat memandangi foto Rara yang sedang
mengenakan seragam pramugari lengkap, sambil menggennggam kertas yang
bertuliskan “Love You Forever From 38.000 ft”.
Mataku malai berkaca-kaca. Teringat masa-masa bersamanya,
masa-masa indah saatku menjalani hari dengan penuh rasa dongkol karena ia
terlalu sibuk. Kala itu, aku belum bisa menerima segala kesibukannya. Jadwal
yang tak jelas, hari libur pun ia tetap bekerja. Sunggu ironis nasibku.
Tapi, berpikir dewasa adalah pilihannya, menerima segala
kesibukannya dengan memandang setiap kasih sayang yang ia berikan padaku. Memandang
dari sisi positifnya.
Sekarang, hal itu sudah tidak berguna lagi.
Dahulu, Jarak ratusan kilometer yang menjadi tali
penghubung hatiku dan hatinya. Sulit untuk menjalani hubungan jarak jauh ini.
Akan tetapi dia selalu meyakinkan hatiku dengan sikapnya yang sabar, perhatian,
dan tak pernah mengeluh.
Rara yang selalu mengajariku arti sebuah kebersamaan,
makna sebuah pengorbanan, dan definisi kedewasaan. Dia selalu menahan rasa
rindunya dengan kata-kata, “Ini semua akan indah pada waktunya”, rasa
cemburunya ketika melihat fotoku berdekatan dengan perempuan lain sering
terlihat dari isi pesan singkatnya yang menjadi datar. Aku tahu itu semua, hal
itulah yang menyebabkanku agak menjaga jarak dengan semua perempuan kecuali
dengannya.
Well,
aku paham bahwa kadang Rara merasa iri dan merasaa tidak menjadi kekasih yang
sempurna untukku. Karena, ia selalu sibuk dengan pekerjaannya, sedikit waktu
untuk kami bisa berdua, menghabisi waktu dengan canda bersama.
Tak samar
diingatanku, saat aku menanyakan hal yang seharusnya tabu untuk diperbincangkan
sepasang kekasih yang berhubungan jarak jauh, yaitu mantan. Lamunanku jauh
mennyusuri klise-klise beberapa bulan lalu saat aku menelponnya di suatu malam
dengan hujan yang amat deras terdengar dari kamarku.
“Hal yang ku benci setelah kucing adalah mantan. Aku tak
pernah mengingat-ingat tentang itu,
hal-hal mengenai mantan selalu membuatku
semakin membencinya. Bagaimana denganmu?” Ujarku di telepon sambil berharap dia
pun memiliki pemikiran yang sama.
Namun salah besar aku berpikir demikian, dengan tenang
Rara mengucapkan sebuah kalimat yang menyadarkanku, bahwa kedewasaan dan hati
yang bijak itu sangat penting dalam menyikapi segala hal.
“Kita enggak boleh benci sama mantan kita, Tau enggak
kenapa kita nggak boleh benci sama mantan kita? Dia dulu yang pernah bikin kita
senyum-seyum sendiri pas baca SMS dari dia, dia yang dulu pernah kita peluk
erat dan bilang “I love you, Darl”, dia
dulu yang sering membuat kita marah-marah sendiri saat dia enggak kasih kabar, dan
banyak hal yang kadang bikin kita salah tingkah di depannya. Lupa? Mau
ngelupain? Enngak bisa benci? Di kenang aja.”
Aku hanya bisa
diam membisu mendenggar kata-katanya tadi.
“Kalau enggak ada dia, kita enggak punya pengalaman dan
pembelajaran, kan? Sekarang tugas kamu buat ngasih tau sebuah arti persahabatan
dan arti sebuah mengikhlaskan.” Suaranya masih terngiang di telingaku.
Aku bangkit dari kasur dan berhenti dalam
lamunan itu, air mata ini membuncah begitu saja setelah lama ku coba untuk tak
menangis. Aku mengenggam dompet denim yang bertuliskan “112% Happy” pemberianya,
satu tahun lalu tepat saat hari ulang tahunku. Bergegas menyalakan sepeda motorku,
dan pergi menyusuri jalanan menuju tempat Rara tinggal sekarang.
Beberapa orang berbaju hitam melintas keluar
dengan wajah muram di depanku, sekarang Aku melihatnya terbujur kaku, di tempat
peristirahatan terakhirnya.
Berapa bulan lalu
kau masih memberiku kabar, namun akhir-akhir ini aku tak tahu kabarmu di sana,
di rumah terkhirmu.
Aku selalu mendoakan kau bahagia di surga sana. Sakit Hanya
untukmu aku berusaha merelakanmu mendahuluiku pulang kembali pada Tuhan.Kini
aku hanya mengingat kata-katamu dulu “Jika libur nanti kamu harus ke rumahku
yah, nanti akan aku masakan tempe mendoan kesukaan kamu, yang”. Namun, sekarang
aku datang ke rumah peristirahatanmu ini, tak ada tempe mendoan yang Kau
janjikan. Aku melawan egoku, hanya untukmu Aku mencoba ikhlas dengan semua ini
dan mendoakanmu adalah cara untuk mengenang dan memelukmu kembali.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar