“No,
ide lo buat ngisi program siang apaan?” Tanya Netha. Mata Netha melirik Vino,
laki-laki idamannya yang tak pernah ‘peka’ pada perasaan Netha.
“Apa
ya? Ada yang punya ide?”
“Gue..
gue..!” Tanggap Danur semangat, manusia yang gagal ngartis ini sangat antusias.
Danur penggila Sehla on 7 dan gemar sekali menyanyikan lagu-lagunya. Tapi sayang, suara sumbangnya sangat membahayakan
pendengar radio Blazz FM.
"Yang
lain?”
"Gue..
woi.. gue!” Danur masih melambai-lambai.
"Ada
yang lain?” Vino berupaya tidak mengubris Danur, Vino sudah tahu pasti dai akan
mengusulkan program acara karoke bareng, berpacu dalam melodi, atau sejenisnya.
"WOI!" Danur mulai gigitin meja rapat.
“Oke,
apa usul loh, Dan?” Vino mengehela napas.
“Gmana
kalau diisi sama program ‘Karoke Bersama Danur’!” Usul cowok berambut kribo
itu.
‘Tuh kan si Kampret mah!’
Gerutu para staf lain kompak dalam hati.
Vino
berdehem, untuk menenangkan peserta rapat yang berusaha menghakimi Danur, dengan
cara memasukan kepalanya ke dalam celana cutbray
milik Netha.
“Oke,
gue usul. Program terbaru kita itu drama radio, gimana?” Alis Vino naik
sebelah.
Staf
lain kasak-kusuk menanggapi usulan Vino.
“WOI!
mau nggak? Kalau mau nanti gue lapor ke Pak Niko.” Mata Vino menyapu
deretan para staf, dan berhenti pada Danur yang lagi cengok. “Oke, pilihanya Cuma
dua. Karokean Bareng Danur atau Drama Radio?”
Semua
staf kompak menjawab “Jelas, drama radio lah!”
Rapat
ditutup.
Netha
memandang Vino dengan kagum. Ya, Netha sudah lama naksir sama Vino yang hobi
muterin lagu-lagu Elvis, Michael Jackson, dan Panbers secara beruntun. Tapi sayang,
apalah arti Netha di mata Vino. Netha hanya perempuan yang pada kodratnya hanya
bisa memendam dan memberi ‘kode’. Sementara Vino adalah laki-laki yang
kodratnya memilih, dan memperjuangkan perempuan yang ia pilih.
“Vin,
makan siang bareng yuk!” Ajak Netha.
“Nanti
aja deh, Net. Lagi nanggung nih,” Jawab Vino sambil mandangin foto perempuan
yang sedang tersenyum. Bermata lonjong, bertubh langsing, dan potongan
rambut bob lengkap dengan poni tebal,
cukup ideal untuk ukuran cowok normal.
“Siapa
tuh?” Tanya Netha menyembunyikan rasa cemburunya.
“Ha?
Oh ini. Ini Naya.”
“Pacar
lo?”
“Bukan,
gue suka sama dia dari jaman kuliah di IKIP dulu, tapi dia kenal sama gue aja
nggak,” Jawab Vino sambil terkekeh.
“Oh
pengagum rahasia? Nggak jantan lo!” Cetus Netha, padahal di dalam hatinya api cemburu telah membara. Mungkin kalau ada disket di atas kepala Netha sekarang,
disket itu bakal eror dan nggak berfungsi.
“Bukan
nggak jantan, tapi gue nggak pernah ada kesempatan nyatain perasaan gue, Net. Namanya
juga cewek cantik, cowok-cowok pada ngantre di depan rumahnya bergantian. Ada
yang ngirim surat lewat temenya, main gitar di depan rumahnya, atau yang paling
parah ada yang ngirimin bunga tiap minggu. Gue yakin lama-lama Naya bisa buka
usaha toko bunga!”
Mata
Netha semakin merah, bukan karena kelilipan. Tapi karena kata-kata Vino yang
sangat mengagung-agungkan Naya. Benar adanya, Vino memang tidak pernah
menangkap ‘kode’ dari Netha setiap hari. Netha terpaksa menunggu, tanpa kejelasan.
“Terus,
sampe sekarang lo nggak mau nyatain? Mau jadi bujang lapuk?”
“Enggak
tau.”
Suasana
menjadi hening.
“HELO
EPRIBADEH! Ada yang mau denger Danur nyanyi?!” Danur lompat ke atas meja kerja
Vino.
“...”
“...”
“Net,
makan yuk.”
“Ayok!”
***
Semua
skrip sudah selesai diketik Vino. Tinggal eksekusinya besok, seperti biasa
Netha memperhatikan Vino dari kejauhan. Lalu ia memberanikan diri untuk menghampiri
Vino.
“Vin,
skripnya udah beres?”
“Udah,
napa?”
“Emm, lo
masih suka banget sama Naya? Orang yang bahkan nggak kenal sama lo itu,”
Pancing Netha.
“Kenapa
tiba-tiba nanya gitu sih? Jelas jawabannya iya, tapi nggak tau sampe kapan gue
kaya gini.” Jawab Vino sambil merapihkan
poni rambutnya yang belah tengah.
“Kalau
suatau saat ada cewek yang naksir lo gimana?” Netha memberanikan diri, dia tahu
kata-kata tadi adalah hal paling bodoh yang telah ia ucapkan.
“Tergantung...”
“Tergantung
apa?”
“Dia
nerima gue apa adanya atau nggak. Loh tau sendiri kan gue gimana?” Mata Vino
melirik komputernya. Yap, Vino memang
produser paling absurd di antara
penghuni Blazz FM. Vino suka ngobrol sama komputernya, bahkan saat dia sedang
mengetik skrip buat siaran. Konon katanya, komputer yang Vino ajak bicara
adalah jelmaan kakeknya. Sulit diterima logika.
“Kalau
iya?” Tanya Netha penuh harap.
“Dan
sayarat kedua, dia harus secantik Naya. Ya, Naya.. oh mata bulat bola
ping-pong..” Dan seterusnya Vino mulai ngelantur ke mana-mana.
Netha
menghela napas panjang penyesalan, nasib Netha menjadi pengagum manusia absurd ya seperti ini. Segala sesuatu
yang tidak masuk ke dalam akal sehat, selalu dilakukan Vino. Dan itulah yang
membuat Netha jatuh hati padanya.
***
Tangan
Netha menggambar-gambar sketsa wajah Vino. Ya, itulah kebiasaan para perempuan
saat perasaannya tak tersalurkan. Dan tiba-tiba Vino berdiri di sampingnya.
“Net,
gambar siapa itu? Kayaknya gue pernah liat deh.” Vino mengemut jari
telunjuknya, tanda sedang
perpikir.
“Ini
lo!” Bibir merah Netha reflek menjawabnya. Pipi Netha memerah seketika. Malu dan bingung bercampur dalam hatinya.
“Hah?! Buat
apa lo gambar gue?” Tanya Vino masih tak mnegerti jawaban Netha.
“Vin,
gue suka sama lo. Entah sejak kapan. Maafin gue sebelumnya, gue baru berani
nyatain sekarang. Gue tau hati lo masih diisi sama Naya-naya itu. Tapi, gue
nggak bisa mendem rasa ini. Gue udah capek, seenggaknya kalkau gue udah jujur
sama lo, gue bisa lega,” jelas Netha dengan mata yang berkaca-kaca.
“Net..
loh serius? Loh lagi nggak sakau, kan?”
“Iya,
gue sayang sama lo. Bahkan sejak kita ketemu dulu!” Netha tak kuasa menahan air
matanya.
“Sori
Net, gue nggak sadar loh ada rasa sama gue, gue pikir loh perhatian sama gue
sebates temen aja.” Wajah Vino masih tidak percaya.
Lalu
lagu sandiwara cinta punya Nikke Ardila mengalun di antara mereka.
Mengapa kini kurasakan lain di
hatiku..
Kau diam dan acuh tak acuh...
Sering kau marah tanpa alsan
membuatku curiga,
terbukalah bereterus terang apa
maumu...
Katakan saja bila kau bosan, kau
marah, kau benci katakan saja...
“Nur,
ada lagu yang lebih pas nggak?” Tanya Vino.
“Sori,
kepencet!”
“Vin,
gue serius! Tolong dewasa dikit napa, lo masih nunggu Naya yang nggak jelas
atau gue yang jelas-jelas
sayang sama lo?” Netha menggenngam tangan Vino.
“Sori,
Net. Gue anggep loh sahabat gue, dan sahabat itu abadi. Rasa sayang gue ke loh itu rasa sayang seorang sahabat yang kekal. Kita bisa saling support dan curhat macem-macem tanpa
harus canggung dengan terikat hubungan. Bisa kan, kita tetep sahabatan?” Mata
Vino serius menatap mata Netha yang berkaca-kaca sejak tadi. "Lagipula kata Pak Soni kan, nggak ada yang boleh pacaran sekantor."
"...."
***
#CerpenRadio
@KampusFiksi Min, maaf kalau ngawur ke mana-mana. Tangan ini ngetik sendiri,
nggak terkendali. Hehehe :D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar