“Ki,
kita kan udah lihai nih mainin alat musik. Kita ngebentuk band aja, yuk!” Ajak
Firdy sambil bercermin, dan nyukurin bulu hidungnya yang sudah lewat garis penalty.
Rizki
ngelirik gue, gue ngelirik Kakung, dan Kakung ngelirik kaca. Kacanya pecah.
“Gue
sih setuju aja, tapi kita kan nggak punya vokalis.” Jawab gue ragu, sambil
memijit-mijit dagu.
“Itu
sih bisa berjalan. Yang penting kita bentuk aja dulu!” Tepis Firdy, bersamaan
dengan cabutan pertama bulu hidungnya. “Walaupun kita di pesantren, tapi kita
bakal bisa terkenal juga. Buktinya kayak band
Wali, banyak duitnya, Cuy!”
Gue,
Rizki, dan Kakung memasang wajah khawatir.
“Oke, kalau band Wali manggung pasti
dilemparin duit. Kalau kita manggung pasti dilemparin knalpot racing,” balas
gue.
“Itu
proses! Nggak ada petinju yang nggak kena jotos, nggak ada band yang nggak kena
timpuk, Cuy!” Firdy masih ambisus. Dari pada ruang musik diacak-acak sama dia,
kita sepakat untuk menurut saja.
" Emang mau bikin band apa dan genrenya apa, gitu?” Rizki menengahi.
“Yesah!,
genrenya Pop Islami!” Usul Firdy.
“Nama
apaan tuh!?” Gue memasang wajah minta di tetesin Otem (Obat tetes mata).
“YESAH!
Mantep, kan? Lawan dari NOAH.” Firdy merapikan poni rambutnya, meniru gaya
Ariel. “Atau, Jijik, lawan dari Nidji?”
Maklumin
aja, mungkin ini efek dari gurah otak yang dijalani Firdy minggu lalu.
“Yang
lain?” Tanya Rizky dengan wajah tidak
tertarik dengan usul Firdy.
“One
Oke Dong!” Usul Kakung semangat, “kan kita berempat, kayak One OK Rock.”
Kedengarannya
agak mengganjal di gendang telingga. Dan agak morak untuk diucapkan di acara
hajatan-hajatan. Tapi, tetepa ditampung oleh Rizky.
“Itu
band apaan, Kung?” Tanya gue, merasa kudet abis.
“Itu
band Jepang yang sering ngisi soundtrack anime-anime keren. Kostum manggungnya juga
cadas! Kayak Kirito di anime Sword Art Online.” Jelas Kakung sambil memberi isyarat metal dengan jarinya. Pelajarana Hidup 2: Jangn kebanyakan nonton kartun.
“Ente
gimana, Mas?”
“Gimana
kalau Pelangi? Kita kan punya background
genre musik yang beda-beda. Firdy pop, Kakung J-pop, Rizky EDM, dan gue heavy metal. Kita ngewakilin empat warna pelangi yang beda-beda! Merah, kuning,
hijau, di langit yang biru.” Jelas gue.
“Tunggu, kalau pelangi terlalu feminim.”
Protes Firdy. "Gimana kalau Rainbow Cake aja!"
Usul Firdy kali ini, bukannya nggak bagus. Tapi kesannya kayak empat cowok yang jadi sales kue raimbow cake di tempat CFD. Nggak ada unsur band-nya banget.
“Gimana
kalau dikasih angka empat. Kita kan berempat, jadi Four OK Rainbows!” Usul
Kakung, masih memaksakan kata ‘OK’ ditengahnya.
“...”
Rizky mulai memasang pose Jimmy Neutron sambil berkata ‘berpikir, berpikir,
berpikir!’ lalu shoot camera masuk ke lubang telinganya.
*TING*
“Dapet!
Gimana kalau The Four Ordinary Rainbows?” Cetus Rizky dengan wajah kelelahan,
abis berpikir keras. Nge-hang.
Semuanya
manggut-manggut. Ruang musik di pondok ini menjadi saksi bisu terbentuknya
sebuah band yang penuh mimpi seperti
pelangi. Merealisasikan lagu yang berlirik pelangi-pelangi alangkah indahmu
merah, kuning, hijau di langit yang biru. Pelukismu Agung si.. CUKUP!
Sejak
itulah, tepatnya tanggal 21 Oktober. Empat ‘mamen-mamen’ yang memiliki skill pas-pasan membentuk band amatiran.
Dengan formasi, Rizki di gitar dan vocal, Gue di bass betot, Kakung di drum,
dan Firdy di keyboard. The Four Ordinary Rainbows siap mengguncang kancah band kondangan dan selametan Indonesia.
JJJ
Bukan
grup band ngetop kalau nggak ngelewatin bermacam-macam rintangan dan cobaan.
Mulai dari gagal bikin album, gagal rekaman, sampe gagal move on, pasti udah jadi bagian menuju kesuksesan seperti band-band
terkenal sekarang. Semisal Kuburan Band, Kangen Band, atau
Bendungan Katulampa Band.
Hidup
memang keras, hukum rimba tetap ada. Siapa yang kuat dia yang menang, dan yang
lemah akan tertindas. Makanya banyak-banyak minum jamu biar nggak ditindas! Roso!
Jujur,
ini pengalaman pertama gue ngebentuk grup band yang serius. Biasanya Cuma band
cabutan yang dibentuk pra tujuhbelasan, dan dibubarkan setelah tujuhbelasan
selesai. Umurnya Cuma satu hari, mirip laron.
Rizki
yang kala itu paling mahir mainin semua alat musik (kecuali yang ditiup)
membimbing gue, Firdy, dan Kakung yang masih kikuk berhadapan dengan alat musik
masing-masing. Ya kikuk, bagaikan mau ketemuan sama gebetan yang kenalannya
lewat Facebook. Malu-malu cemas, kalau aslinya nggak kayak di profile picture.
“Gimana
udah apal semua kan kuncinya?” Tanya Rizki setelah mengajari kunci dari lagu
Laskar Pelang yang dibawakan Nidji.
“Udah,
Ki!” Jawab gue singkat.
The
Ordinary Rainbows bakal tampil di pentas seni tahunan yang selalu diadain di
aula pondok. Meski bass listriknya sering bunyi ‘nguing-nguing’ dan mike-nya
sering bergema, misalkan lo bilang ‘hutang’, pasti bakal bergema ‘tang, tang
tang,” tapi cuma itu pilihan satu-satunya.
“Kita
nggak boleh malu-maluin nih, diliatin sama Kakak kelas soalnya,” kata Firdy
mengisyaratkan larangan dengan jari telunjuknya.
Sementara
Kakung sibuk ngaca pake simbal drum yang ditambal dengan lakban.
Hari
itu dihabiskan semua personel The Four Ordinary Rainbows dengan latihan berat.
Bagai atlet yang ingin olimpiade. Kami mengitari lapangan futsal, angkat
jemuran (pengganti barbel), dan banyak mengkonsumsi sayuran (emang jarang
dikasih daging).
Hari
yang ditunggu telah tiba. Nama baik The Four Ordinary Rainbows di depaan senior
dipertaruhkan di sini. Hanya ada dua resiko, pertama, diberi tepuk tangan, dan
kedua diberi kepalan tangan. Sama-sama pake tangan sih, tapi yang kedua bikin
bonyok.
Acara
pentas seni ini diisi berbagai band-band amatir lain. Biasanya, band akan
diselingi dengan pembacaan pidato dan puisi dari peserta lomba. Semua personel
band amatir yang mau manggung (baca: caper sama Senior) mempersiapkan diri di backstage. Tapi, ada satu band senior
kawakan, Qurotha.
Gue
memandangi personelnya satu persatu. Berharap skill bermain musiknya pindah ke
gue. efek terlalu banyak nonton Romy Rafael.
Yup,
gimana nggak iri? Band ini udah nyiptain beberapa single. Dan, single-singlenya
emang nge-hits di pondok ini. Tapi penampilan fisik juga jadi faktor
pendukungnya, personel Qurotha (kata santriwati) ‘cool-cool semua’. Beda tipis
sama The Four Ordinary Rainbows yang juga ‘cool’, bagaikan mayat formalin.
“Kita
kebagian manggung ketiga. Kita harus siapin enerji!” Kata Rizki semangat,
setelah melihat jadwal acara dari MC.
“Tanganku
udah nggak sabar mukulin simbal!” Cetus Kakung, menunjukan matanya yang
berbinar-binar. Bukan, bukan efek contacklense.
“Tapi
kata MC, nama band kita kepanjangan. Disingkat aja. Jadi apa ya?”
Gue
garuk-garuk rambut lalu minjem handphone Ustaz Ochid, pura-pura nyari refrensi.
Biar terlihat ‘sedikit’ pintar. “Hmmm.”
“Dapet,
Mas?” Tanya Rizki.
“Bentar,
masih searching for opponents,” jawab
gue sambil mainin game Clash Of Clans di handphone Ustaz Ochid.
“SERIUS
WHOY!!!”
“TOR
aja?” Usul Firdy.
Dengan
cepat Kakung membayangkan, kita berempat berpose ala The Avenger. “Kok mirip
jagoan di de apenjer ya?” Celetuk Kakung. Pelajaran
Hidup 2: JANGAN KEBANYAKAN NONTON!
“...”
“T-40r,
gimana?” Tanya gue, sambil memakai
kacamata hitam dan menaikan kerah kemeja. “Sepintas kedengerannya kayak
F4, geng cowok keren di film Meteor Garden itu!”
“Usulnya
sih bagus, tapi alasannya agak nganu ya,” Kakung mengusap-usap dagunya,
menimbang-nimbang, antara mirip F4 atau The Avenger.
“Oke,
gue YES,” kata Firdy sambil melirik ke arah Rizki yang manggut-manggut setuju.
JJJ
Matahari
sudah semakin terik, jadwal manggung T-40r diserebot beberapa kali sama band
lain. Alasannya bervariasi, mulai dari,
‘Kak,
drummer saya kalau siang ortunya ngejenguk, saya manggung pagi aja ya.’,
‘Kak,
pokalis saya lagi diare, nggak bisa nunggu kelamaan, nanti takut bablas di
celana.’,
atau
‘Kak, saya takut lupa kuncinya kalau kelmaan, saya manggung pas awal aja.”
Buat
yang terakhir, rasanya gue mau bilang “Gue juga nggak apal kuncinya, WOY! GUE
NYATET KUNCINYA DI TANGAN!” Sambil
nunjukin telapak tangan gue yang penuh sama kunci, sepintas terlihat seperti
huruf hiragana yang di tulis anak SD.
Untungnya
Firdy masih nepuk-nepuk punggung gue. “Sabar, Dim, guest star munculnya belakangan.” Firdy mencoba meredam emosi gue.
“Kita
udah nunggu dari pagi, tapi udah siang gini masih belum tampil juga. Kalau dari
awal dijadwalin siang kita kan bisa pake buat prepare lagi.” Gue memandang
semua personel, memandang raut wajah mereka yang juga sudah lelah.
“Gue
mau balik ke asrama, lo semua bisa tampil tanpa gue!” Gue berbalik.
Membelakangi mereka, lalu berjalan dengan berat. Gue nggak nyangka kalimat itu
muncul dari mulut gue. Ini udah melebihi dari sekedar ‘ngegampangin’ tapi lebih
ke ‘melecehkan’. Mentang-mentang grup band baru dari santri junior yang
upilnya suka buang sembarangan mereka memandang dengan sebelah mata.
“Tapi,
Mas.” Rizki memanggil gue, berharap gue berubah pikiran.
“Udah
jelas, kan? Gue mau balik ke asrama.” Gue sedikit menengok.
“Pinjem
pick-nya, boleh? Kan ente nggak pake,” tanya Rizki dengan eksperesi seperti
perokok yang bilang ‘bagi apinya dong, Sob.’
Suana
hening.
“ENGGAAAK!”
Gue berbalik, melangkahkan kaki dengan mantap.
“Mas,”
Rizki memanggil gue lagi.
“Gue
bilang enggak, ya enggak!”
“Itu
jalan ke mesjid, kalau asrama ke sana.” Rizki menunjuik arah yang berlawanan.
Gue
cengok, lalu berpikir cepat “GUE MAU SOLAT TOBAT!”
“...”
JJJ
Sesampainya di kamar, rasa sesal pun datang. Sebagai manusia
normal yang memiliki satu hidung dan dua mata, gue menyesali kata-kata gue
barusan.
“Kenapa harus begini akhirnya?” Gue ngomong sendiri di depan
cermin. “Apa salah gue? Apa karena personil kita nggak ada yang bisa perform sambil jugling? Apa karena muka
personel T-4or beler semua? Siapa yang salah?! SIAPAAA!? SIAPAAA!?”
“BERISIK LO! GANGGU ORANG TIDUR AJE!” Teriak seorang senior
dengan nada murka, lalu spatu futsal melayang dari belakang.
*HEADSHOOT!*
Sepatu itu menghantam otak belakang gue. Seketika detak
jantung gue langsung delay.
“Maap, maap, Bang,” kata gue sambil mengelus-elus kepala.
Berdoa, semoga hafalan rumus perkalian gue nggak keformat karena spatu itu.
Beberapa saat kemudia, Firdy dan Kakung datang dengan wajah
muram dan kelelahan, mirip siswa yang selesai ngerjain algoritma. Kusut lahir dan batin!
“Udah beres, performnya?” Tanya gue, menyembunyikan rasa
sesal nggak ikut caper sama senior.
Mereka berdua masih diam. Entah, mungkin mereka masih
terpukul dengan kata-kata gue.
“Jangan baeran gitu, gue tadi cuma capek aja. Next time, gue pasti ikut kok.”
“Gue juga udah capek,” balas Firdy.
“Mungkin mereka nyepelein kita,” tambah Kakung.
Sepertinya, keadaan memburuk setelah gue pergi. Mereka belum
kunjung tampil. Sekarang, hanya tinggal Rizki yang masih menanti di sana.
“Gue udah bilang sama Rizki kalau kita ngunduruin diri aja.”
Firdy merebahkan tubuh gempalnya ke kasur Fahmi. Kasurnya anjlok.
Mendengar itu, gue cuma bisa terdiam. Bukan, bukan soal
kasur anjloknya, tapi soal kejadian ini. Rizki yang masih kekeh menunggu
sementara gue, Firdy, dan Kakung sudah lelah menunggu. Kalaupun nanti T-40r
dipanggil. Apa mungkin Rizki perform sendirian? Gue mikir keras sambil
ngebayangin Rizki mainin semua alat musik sendirian.
Kepala gue didera sakit kepala mendadak. Maklum, otak gue
nggak biasa dipake mikir keras. Kalau udah begini, tidur adalah solusinya. Gue
melirik ke arah Firdy dan Kakung yang sudah tertidur di kasur Fahmi yang anjlok
tadi. Dengan cepat gue memenjamkan mata dan tertidur, berharap semua masalah
ini terlupakan.
JJJ
“Dimas, Dimas, banguuun.” Suara
merdu seorang perempuan menyusuri telinga gue.
Perlahan gue membuka mata,
mencari pemilik suara tadi. Mata gue terbelalak saat melihat perempuan yang
berdiri di depan gue. Melody JKT48!!!
“Ka, Ka, Kak Melody?” Tanya gue
gelagapan, segera gue memakai kacamata, takutnya itu hanya fatamorgana Bibi
dapur.
“Bangun doong, Dim,” Kak Melody
menarik-narik selimut gue. Ternyata bener, dia Melody JKT 48!
‘I, i, iya, Kak.” Gue menelan
ludah, “ada apa yah, Kak?” gue gemetar, gugup.
“Ayo siap-siap, kita udah
dipanggil buat perform!” Teriak Kak Melody.
“Hah!? Perform apaan?” Tanya gue,
kebingungan.
“PELFORM T-4OL! BURUAN BANGUN!”
Suara Kak Melody berubah menjadi suara Rizki. Mimpi gue buyar diikuti dengan
hentakan Rizki.
‘Kampret! Melodynya berubah jadi Rizki,’ batin
gue dengan memajang wajah masam memandang Rizki yang berganti membangunkan
Firdy dan Kakung,
“Gue kan udah bilang, gue nggak
mau tampil, Ki,” seru gue.
“Kita udah dipanggilin dari tadi,
Dim. Ini kesempatan kita!” Rizki meyakinkan gue.
Gue memandang telapak tangan gue,
contekan kuncinya pun sudah luntur. Entah oleh keringat atau iler gue. “Next
time aja, Ki” Gue kembali menyelimuti diri.
Begitupun Firdy dan Kakung.
Mereka menolak tampil dan lebih memilih melnajutkan tidur.
Malam harinya. Kak Iron
mengumpulkan T-40r, ia merasa bertanggungjawab atas adegan ‘ngambek’ siang
tadi.
“Lo pada kenapa? Gue diem, lo
minta-minta tampil, gue panggil-panggil buat tampilmalah pada ilang.”
Semua terdiam dan tertunduk.
Perasaan Malu, marah, kecewa bercampur aduk.
Untungnya Kak Iron mengumpulkan
gue dan lainnya di kelas. Lebih aman dan nggak jadi tontonan santri lain.
“Kita diserobot terus, Kak,”
jawab gue mencoba membela diri.
“Digituin aja udah ngambek, mau
jadi band apaan lu?” Kak Iron memandang gue serius.
“Tapi, kita ngerasa dilecehin,
Kak. Bayangin aja kita udah prepare ini-ituuu...”
“Nggak ada kesuksesan yang
instan, brader.” Kak Iron mengisyaratkannya dengan mengayunkan tangannya.
“Kalau lu pada mau jadi band beneran. Ya, minimal terkenal sekelas Qurotha. Lu
pada kudu tahan banting! Ngerti?” Kak Iron sedikit meninggikan nada di kata
terakhir.
Gue tertunduk, memutar bola mata
ke arah Rizki yang sedang serius memperhatika Kak Iron, Firdy yang merasa
menyesal dengan kata-katanya, dan Kakung.. yang lagi nyontek PR fisika punya
Rizki.
“Kung, lo bisa serius dikit,
nggak? Ngerjainnya kan bisa nanti,” bisik gue ke arah Kakung.
“Kalau dientarin, nanti aku lupa,
Mas,” jawab Kakung serius tanpa memalingkan wajahnya ke arah gue.
“Ah pe’a!” Gue membenturkan
kepala ke meja. Langsung benjol.

Ekspetasi:
Bikin grup band – Bikin lagu –
Latihan – Bikin album – Manggung – Promo di TV – Terkenal - Kaya
Realita:
Bikin grup band – Ngumpulin
personel – Bikin lagu – Latihan – Ngeband di kondangan – Ngeband di khitanan –
Bikin almbum – Album nggak laku – Dagang somay.
Kak Iron menjelaskan panjang
lebar di papan tulis, mirip dosen yang ngajarin mata kuliah filsafat. Ngerti
nggak, ngantuk iya.
“Ngerti lu pada?” Kak Iron baru
menoleh ke arah kami, setelah sekian lama menjelaskan panjang lebar menghadap
papan tulis.
Nyawa gue, Rizki, Firdy, dan
Kakung sudah berada di alam mimpi masing-masing.
“WHOY! KURANG AJAR LU PADA YE!”
Kak Iron teriak sambil menggebrak papan tulis, kita masih nyenyak tidur.
Hari itu menjadi awal yang buruk
untuk T-4or. Tapi, karena hal ini kami menjadi lebih tertempa dan tidak
mengulangi kesalahan yang sama. Lebih menjadi tahan banting untuk mendapat
kesuksesan, minimal bisa caper sama senior cewek. Ya, namanya juga jomblo lagi
usaha.
JJJ
Tidak ada komentar:
Posting Komentar