#DeskripsiKeringat
Wajah memar, beberapa luka di tangan, dan baju
yang lusuh.
Ini bukan kali pertamanya Vino dihajar oleh Edo
dan kompotannya. Sebenarnya hanya karena masalah kecil, Vino sering ngobrol
bareng sama pacarnya Edo, Ai. Topik yang dibicarakn mereka juga tidak jauh
tentang sejarah dan ilmu pengetahuan. Namun, rasa cemburu dan arogansi
Edo sangat berkobar-kobar melihatnya.
“Gue ingetin sekali lagi dan ini yang terkhir
kalinya, jangan deket-deket sama cewek gue lagi kalo lo masih mau idup!” Ultimatum
Edo dengan nada tinggi, kemudian pergi bersama tiga temannya.
"Gue nggak ngerti maksud lo," Jawab
Vino pelan sambil menahan rasa ngilu di tulang kaki.
"Nggak usah banyak omong lo," Edo
dengan enteng mengayun bat (tongkat baseball) miliknya lalu dibenturkan ke lutut
Vino yang tersungkur lemas.
Rasa sakit yang diciptakan dari tongkat itu
menjalar ke seluruh syaraf kaki Vino, nafasnya terhenti dan merasakan lumpuh
sesaat. Mulutnya terkunci dan menhan nafas untuk sedikit mengurangi rasa sakit
itu.
"Abisin dia aja, Do. libur sekolah kan masih
seminggu lagi!" Seru seorang yang berambut tebal dan bermata sipit.
"Nggak usah gue abisin sekarang, liat aja
nanti kalo minggu depan dia masih deketin Ai." Edo tersenyum sinis.
"Gue abisin dia sampe tinggal nama." Edo membisikan kata-kata itu di
telinga Vino sambil meludah tepat ke arah wajahnya. Setelah itu Vino dan
komplotannya pergi meninggalkan Vino yang terbaring lesu di aspal jalan yang
kasar, dengan darah segar yang masih mengalir tentunya.
Vino hanya merunduk dan bankit dari posisi
tersungkurnya. Pertarungan empat lawan
satu itu memang tidak adil. Dan sulit membaca gerakan mereka yang menyerang
dari segala arah.
Kaki Vino sulit untuk dilangkahkan, mungkin
akibat hantaman macam-macam benda tumpul saat perkelahian tadi. Langkahnya
sangat berat. Begitu pula darah dari lukanya yang masih basah mengalir pelan. Perih.
Belum ada sepuluh langkah, kaki Vino terasa
sangat lemas dan pandangannya memudar. Efek dari benturan yang cukup keras dan
darah yang terlalu banyak keluar. Kelopak mata Vino begitu berat. Kemudian
tertutup, gelap dan perih.
“Bangunlah, anak muda!”
Mata Vino berat sekali untuk dibuka, bahkan
menggerakan tangannya saja sudah tidak mampu karena keram.
“Kalau terus di sini kau akan mati konyol, mau kayak
gitu?”
Mungkin tubuh Vino sudah lemas dan tidak berdaya.
Tapi pendengaran dan otaknya masih berfungsi baik. Ini bukan suara malaikat
atau malaikat pencabut nyawa. “Kau siapa?”
“Tidak penting.”
Kesadaran Vino buyar dan rohnya seakan melayang
ke atas meninggalkan jasadnya.
***
Mata Vino terbuka perlahan karena merasa hawa
panas yang membuat keringatnya deras mengalir. Vino bangkit dari posisi
tidurnya memastikan bahwa ini bukan ruang kamarnya, bahkan terlalu rapi jika
dibandingkan dengan kamarnya.
“Jangan banyak bergerak, lukamu masih belum
kering.” Suara itu muncul lagi dari arah belakang, ternyata si pemilik suara
itu ternyata pelatih estrakulikuler kendo di sekolahku, Pak Tomo.
"Pak Tomo? Te.. Terima kasih Pak udah
nolongin saya."
“Nggak usah bilang makasih. Saya nggak bisa
ngeliat manusia mati konyol di depan saya, ditambah lagi mati konyolnya karena
dikeroyok gerombolan pengecut.” Orang itu tersenyum, menmbawa rona hangat dalm
wajahnya yang sepuh dan rambutnya yang sudah memutih. “Istirahat aja sampe
besok.”
“Maaf, Pak saya harus pulang,” Vino meletakan
selimut yang menutupi tubuhnya. “Terima kasih udah nolongin saya,” Vino
tersenyum pada orang itu dengan ramah karena itulah yang diajarkan ibunya sejak
kecil.
“Keras kepala juga yah,” Orang itu mengambil
sesuatu dari laci kayunya. “Bawa ini aja buat lawan mereka lain kali,” Sebuah
pedang panjang yang dibalut dengan sarungnya yang bermotif garis-garis dan
siluet tipis terlihat begitu artistik.
“Saya nggak bisa main kendo, Pak."
"Itulah penyebabnya kamu selalu disiksa,
karena kamu nggak bisa bela diri." Orang itu kembali terseyum tipis, tanpa
mengurangi tatapan tajamnya. “Bawa ini, saya ajarin cara mainnya besok,” Orang
itu melempar pedang itu dan hampir mendarat tepat di wajah Vino jika dia tidak
cepat menangkapnya.
“Tapi, Pak..”
Belum sempat Vino menyelesaikan kata-katanya Pak
Mo sudah memotongnya. “Pintu keluar ada di lorong sebelah sana,” sambil
menunjuk sebuah pintu geser yang berwarna biru langit.
Vino hanya memanggutkan kepalanya.
***
Keesokan harinya,
“Pakai seragam ini," Pak Mo meberikan
seragam kendo yang terdiri dari men (pelindung kepala), do (pelindung badan),
kote (pelindung tangan), dan tare (pelindung paha dan kemaluan).
beberapa saat kemudian Vino sudah
berpakaian lengkap dan terlihat sangat gagah karena tubuhnya yang tegap dibalut
dengan seragam kendo yang berwarna putih dan garis-garis hitam.
"Mana shinai-mu?"
"Ini, Pak" Vino menaikan alisnya dengan
tanda tanya besar di kepalanya.
"Cara memegangnya pun kau salah,
begini," Pak Mo meluruskan genggaman tangan Vino. "Pasang
kuda-kuda."
"Siap, Pak."
"Jangan panggil Pak kalau sedang keiko
(latihan kendo) dengan saya. Panggil Sensei!" Tatapnya serius
sambil mencontohkan posisi kuda-kuda yang benar dan tegam. Lebar kaki kana dan
kiri adalah tujuh kepal tangan orang dewasa. "Atur nafasmu. Latihan
pertama, yaitu men, tebasan ke arah kepala. Sasaran tebasannya adalah
dari ujung dahi sampai dagu."
Pak Mo mengayun pedang dengan santai namun powerfull,
kayu yang ada di depannya hancur seketika terbelah menjadi dua bagian yang tidak
rata. "Begitu!"
Vino mengangguk dan mencobanya, namun hasilnya
sangat berbeda. Kayu yang ia tebas tak hancur sedikit pun.
"Bodoh, gabungkan Haraki-ashi
(melangkah ke kiri atau ke kanan dengan menyeretkan kaki sebesar 45 derajat)
dengan serangan men tadi!"
Latihan berlangsung selama berjam-jam dan detak
jantung Vino terus menggebu-gebu sampai keringatnya bercucuran layaknya pelari
yang telah menempuh ratusan kilometer.
"Hosh.. Hosh.." Vino terengah-enggah
mengadu shinai dengan Pak Mo,
"Kau lelah?" Pak Mo langsung
mengeluarkan Seme (bergerak maju mendekati lawan, mengambil posisi untuk
melakukan tebasan kecil).
PRAK! PRAK! PRAK!
Perhelatan shinai antara Vino dan Pak Mo tak
terhindar, satu langkah saja Vino salah. Maka hantaman shinai akan
mendarat di wajahnya yang dan bisa membuat wajahnya memar satu minggu.
"Sensei.. Hosh.. tadi teknik apa yang
kau keluarkan.. Hosh?" Tanya Vino setelah menangkis serangan yang
berbahaya bertubi-tubi ke arah wajahnya.
"Itu Sa-yu men, sebuah pukulan men
yang diarahkan ke kanan lalu ke kiri, sasarannya pelipis kepala."
Lalu Pak Mo memasang kuda-kuda kembali untuk menyerang dengan langkah besar
kemudian melompat tinggi, mirip pemain basket yang melakukan teknik slam
dunk. "Kalau ini Haya suburi (tebasan cepat yang dilakukan
sambil melompat)."
PRAK!
Kepala Vino beradu dengan men miliknya yang
tertebas shinai Pak Mo yang sangat kuat terhempas hingga
keseimbangan Vino goyah, lalau terjatuh ke tanah.
"Jangan terlalu serius, Nak." Pak Mo
tersenyum tipis. "Kalahkan anak pengecut itu. Akan kubuat kau menjadi
kesatri dalam waktu satu minggu."
***
Rasakan
udara yang berhembus..
Rasakan
setiap darah yang mengalir..
Rasakan
semua yang ada di hadapanmu..
Tebas dengan
pedangmu..
Semua...
Tanpa
ampun..
Kata-kata itu terngiang di otak Vino, mempelajari
tiap gerakannya, langkah kaki, dan pergerakan tangan yang harus senada. Jika
terdapat selisih sekian detik saja maka lawan akan berbalik menyerangmu dengan
mudah. Vino mulai terbiasa dan mulai memiliki rasa ketertarikan pada kendo yang
memiliki unsur-unsur bela diri, seni dan olahraga yang dibungkus secara
ciamik.
Mengayunkan pedang bagi seorang samurai bagaikan
mengayunkan tangannya sendiri. Jika salah mengayunkan maka hasilnya aadalah
tangannya sendiri yang terpotong. Semakin tajam teknik yang dikuasai maka harus
semakin hati-hati pula untuk melakukannya.
Liburan singkat telah usai, Vino terlihat lebih
tegap dan kulitnya menghitam akibat berlatih keras di bawah mattahasri musim
panas yang amat cerah."Inilah saatnya, balas dendam dengan seindah-indahnya," Batin Vino.
“Sensei,
apa sekarang saya sudah boleh mempraktekan teknik kendo untuk melawan Edo?”
“Jangan pernah gunakan shinai untuk balas
dendam." Pak Mo melirik Vino tajam. "Tapi kalau untuk jigeiko
(latihan tanding secara bebas) satu lawan satu, aku ijinkan."
***
“Edo!” Teriak Vino selepas kelas bubar.
“Udah berani lo sekarang ya?” Edo mengambil
langkah mendekat dan sambil membawa bat
yang biasa ia gunakan untuk pertandingan antar sekolah dan untuk sekedar
bermain-main (slash menghajar Vino).
Teman-teman Edo berkumpul, lebih dari biasanya,
hari ini mereka berjumlah tujuh orang, dan sudah menggenggam tongkat bat di tangan. Siap untuk menghajar lagi.
Vino memejamkan mata, merasakan aliran udara,
darah, dan pergerakan orang-orang yang sudah siap posisi menyerang dari segala
arah mata angin.
Debar jantungnya sangat kencang saat ini, jika
Saja salah langkah dia yang berbalik diserang dan itu akan fatal. Tapi, Sensei berpesan
juga untuk tidak melukai mereka sedikit pun.
“MAJU!!!” Edo mengambil langkah dan menyerang,
bergerak Edo begitu terasa lamban dan mudah dibaca. Begitu juga dengan
Teman-temannya yang lain. Vino dengan mudah menghindar dan mencari sela untuk
membalas, bersiap mengambil ancang-ancang untuk
Satu.. Dua.. Empat.. Enam.. Mereka tumbang dalam
hitungan detik. Shinai Vino dan tongkat bat Edo sangat jauh berbeda. Melihat dari berat dan
panjang pun sudah sangat terlihat mana yang lebih menguntungkan.
Sekarang tinggal Edo. One by one.
“Kita selesaikan sekarang?!” tanya Vino. mengadu bat TPX miliknya yang memiliki panjang 30 inch sementara shinai Vino lebih panjang 9 inch.
PRAK! PRAK!
Edo mengayun tongkat bat-nya bagaikan saat pertandingan (swing), memang akurasi dan
feeling Edo sudah sangat terlatih dalam hal ini. Memperediksi kecepatan angin dan kecepatan
bola basseball yang berukuran 23,5 cm itu sangat sulit untuk orang awam.
Kaki Vino terus maju dengan teknik seme (bergerak maju mendekati lawan, mengambil posisi untuk melakukan tebasan kecil).
Langkahnya terbaca!
Vino siap untuk mengayun setelah berhasil
menghindar. Lalu dengan sergap mengambil posisi untuk melancarkan teknik de-bana (teknik menyerang pada saat lawan hendak memulai serangan).
PRAK!
"Ka.. Kau.." Edo tersungkur, shinai Vino tepat menebas kepala Edo dengan sangat kuat.
Wajah Vino sangat dingin melihat darah Edo yang keluar dari kepalanya. Apalagi saat Vino berbalik dia melihat shinai milikinya juga terkena bercak darah Edo. Cih, sial!
**
Seperti yang kalian tebak, bercak darah Edo yang
menodai bilah shinai itu membuat Sensei Mo
murka dan melarang Vino memakai shinai untuk pertarungan bebas lagi.
"Ini bukan lagi teknik kendo yang aku ajarkan padamu, tapi
ini teknik nafsu yang menguasai dirimu, didasari dari rasa dendam yang harus terbayar. Betul, kan?"
“Maaf, Sensei.”
Ditulis untuk memenuhi tantangan
#DeskripsiKeringat dari @KampusFiks. Semoga masih matching dalam tema. Ditunggu
komentarnya.Jangan kejam-kejam yah, Min :)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar