(by Rizki
Ayu Amaliah)
Langit cerah dan isak tangis keluargaku
menjadi saksi keberangkatanku untuk menuntut ilmu di negeri 1000 menara. Kucium
dan kupeluk erat mbah putri dan ibuku. Kupeluk sosok yang mulai tua renta
dimakan usia, sambil kuusap butiran air mata yang membasahi pipinya.
“Mbok, ojo
nangis yo ! Ningrum, tidak ingin melihat isak tangis yang terpancar dari
wajah simbok, tapi mengharapkan uluran doa, agar Ningrum selamat sampai
tujuan.”
Dan akhirnya, tatapan terakhir kutujukan pada
ibundaku tercinta yang berlinangan air mata. Begitu sulit beliau melepaskanku.
“Nak, ibu belum sanggup berpisah denganmu, dengan jarak yang begitu jauh.”
“Bu, inilah impianku, meski ku sadari akan
banyak rindu yang tumpah tiap malamnya, akan ada banyak rasa cemas yang
menyelimuti, dan semakin banyak air mata yang akan tumpah karena perpisahan
ini, namun inilah impian dan cita – cita yang harus mengorbankan segalanya.”
Ujarku sambil menahan tangis.
“Lalu, siapa yang akan menemanimu ketika
sendiri, nak? Siapa yang akan menjagamu ketika sakit?”
“Bu, ikhlaskalah kepergianku untuk merantau ke
negeri orang.”
“Bismillah, Insya Allah, Nak.”
Pilu rasanya melihat genangan air mata di
pelupuk mata mereka, dan dengan bibir yang terasa berat, kuucapkan “Assalamu
‘Alaikum” kepada mbah putri dan ibuku dan berbalik menuju pintu bandara.
Pesawat Kuwat airlines yang kutumpangi akan
mendarat ke Cairo Airport. Aku begitu terlena dengan keindahan Mesir dan sungai
Nil dari udara, tiba – tiba terdengar suara tepat di sampingku.
“Ukhtii, ingat sebelum menginjakkan kaki di
tanah para nabi, usahakan mulai dengan kaki kanan, seraya berniat “kedatanganku
di Mesir, semata – mata untuk menuntut ilmu.”
Aku berbalik ke arahnya, sambil tersenyum.
“Ukhti, namanya siapa? Dan berasal dari mana?”
“Perkenalkan namaku Maryam, dari pesantren DDI
Mangkoso.”
Salah satu pondok Pesantren yang banyak
mencetak kader santri lulusan Mesir adalah Pondok Pesantren DDI Mangkoso.
Pondok Pesantren Mangkoso didirikan oleh sosok ulama AG.KH.Ambo Dalle, beliau
termasuk salah satu santri dari AG.KH.M.As’ad pendiri sekaligus pimpinan
pertama Pondok Pesantren As’adiyah. Perkenalan pertamaku dengan Maryam
merupakan awal mula persahabatku dengannya.
Dan Alhamdulillah,
akhirnya aku tiba di tanah kelahiran nabi Musa as. Siapa sih yang nggak kenal dengan Mesir? Negara yang
memiliki sejuta keindahan dengan arsitektur bangunan khas Timur Tengah. Takkan
habis kata – kata untuk menuliskan sejarah tentang Mesir, tidak pula habis
tinta untuk melukiskan keindahan negeri yang biasa juga disebut The
Thousand Minarets Country (negeri 1000 menara). Bahkan ada yang mengatakan bahwa
setiap jengkal dari tanah Mesir memiliki cerita dan nilai sejarah.
Pukul 15.00 waktu Cairo, pesawat yang
kutumpangi mulai mendarat di Bandara Internasional Cairo. Aku dan Maryam
bergegas membereskan semua barang bawaan kami. Yah inilah pertama kalinya aku
menginjakkan kakiku di Negeri orang. Perasaan bahagia bercampur senang
menyelimuti diriku, menghapus rasa letih yang sedari tadi menggorogoti sekujur
tubuhku. 18 jam perjalanan, sungguh melelahkan. Namun semua itu sirna oleh
perasaan bahagia.
“Ningrum, yah?” tiba – tiba aku dikagetkan
oleh sebuah suara.
Seorang pemuda separuh baya telah berdiri di
hadapan kami sambil melemparakan senyumannya.
“Oh iya afwan,
nama saya Ilyas, saya diutus oleh ketua KKS (Kerukunan Keluarga Sulawesi) untuk
menjemput adik – adik mahasiswa baru yang berasal dari Sulawesi.” Ujar pemuda
itu sambil membantu memindahkan barang bawaan kami ke mobil.
Dalam perjalanan menuju ke sekretariat KKS,
aku tak henti – hentinya dibuat takjub oleh pemandangan kota Cairo, meski
hamparan padang pasir masih terlihat dimana – mana, tapi itu tak mengurangi
keindahan negeri para Nabi ini. Justru dengan padang pasir itulah yang
menjadikan Cairo memiliki nuansa dengan khas
Timur Tengah. Sepanjang jalan kami berbincang – bincang.
“Kak, gimana sih Mesir itu?” tanyaku
penasaran.
Beliaupun begitu semangat menjelaskan
keindahan Mesir dan sesekali diselipi dengan candaan. Tapi inti dari
penjelasannya adalah bahwa teman – teman Masisir (Mahasiswa Indo di Mesir) yang
menuntut ilmu di Mesir harus sabar dan tekun. Melihat kata mishr itu ada 3 huruf : mim :
musibah, shad : Shabru (sabar), dan Ra : Ridhallah (ridha Allah). Jadi di Mesir
katanya begitu banyak cobaan yang harus dilalui dan itu dinamakan musibah maka
hendaklah kita senantiasa bersabar dan setelah sukses bersabar maka, Insya
Allah, Allah akan ridho, itulah Mesir. Di negeri inilah nabi Yusuf as, dan Musa
as dilahirkan. Dan tibalah kami di asrama yang memang khusus putri.
Hari pertama di Mesir masih saja menyisihkan
kerinduan pada kampung halaman, juga pada simbok dan ibundaku. Inilah seni
kehidupan yang mana kita dihadapkan oleh dua pilihan, baik dan buruk, suka dan
duka, begitupun pertemuan dan perpisahan yang begitu memberi kesan yang dalam
bagi siapapun yang merasakannya. Aku pernah membaca sebuah buku, di buku itu
tertulis bahwa “Engkau akan mengenal seseorang ketika pertemuan itu datang
menyapa, dan engkau akan merasa seseorang itu berarti dalam hidupmu ketika
perpisahan datang menghampirimu, namun semuanya akan indah pada waktunya.”
Meski demikian, lagi – lagi Allah menghadirkan sosok jelmaan malaikat yang
begitu santun dalam berbicara dan memiliki budi pekerti yang mulia, yah dialah
Maryam.
****
Hari kedua di Cairo menjelang magrib, aku dan
Maryam diajak untuk menjelajahi santaero Cairo dan sasaran utama adalah Masjid
Al Azhar tempat lahirnya ulama – ulama dunia. Adzan dikumandangkan penuh cinta,
suaranya yang mendayu menyamai keindahan suara yang dimiliki oleh sosok lelaki
yang begitu kukagumi ‘Marwan’. Entah mengapa nama itu belum mampu hilang dari
memori otakku.
Ku angkat takbir mengikuti imam, aku menyimak
bacaan Syekh dengan sangat khusyu karena pertama kalinya shalat di belakang
ulama Azhar. Masya Allah, ketenangan mengalir keseluruh lativah – lativah jasadku dan tak dapat kutahan air mata ini,
mengingat dosa – dosaku yang bertumpuk dibandingkan dengan kesucian hati
seorang Syekh yang mengimami kami. Setelah selesai kamipun keluar menuju Masjid
Sayyidina Husain (cucu Rasulullah saw) yang hanya diantarai oleh jalan raya
dengan masjid Al Azhar. Di dalamnya terdapat kuburan Sayyidina Husain ra, dan
begitu banyak yang berziarah ke makam beliau.
Memang pemandangan dengan arsitek khas Timur Tengah yang disuguhkan oleh
kemegahan bangunan Masjid Husain akan membuat mata terkesima, belum lagi dengan
barisan lampu – lampu kristal yang bergantungan menghiasi bagian dalam masjid
Husain, menambah kemegahan masjid ini.
****
Universitas Al – Azhar merupakan salah satu
kiblat ilmu bagi para pecandu ilmu, jadi tidak heran jika jumlah mahasiswanya
mencapai ribuan. Untuk mahasiswa yang dari Indonesia saja mencapai 4000an,
belum lagi dari negara – negara Asia lainnya.
Tapi, meskipun memiliki jumlah
mahasiswa/mahasiswi yang mencapai puluhan ribu, namun soal presentase jumlah
kehadiran dalam perkuliahan hanya mencapai 30 % dari jumlah
mahasiswa/mahasiswinya. Pihak Al – Azhar sendiri tidak membebankan sistem wajib
hadir atau melakukan absensi dalam kelas, itu karena melihat kapasitas ruangan
perkuliahan yang tidak mencukupi. Untuk semester awal saja, ruangan kuliah yang
diperkirakan berkapasitas kurang lebih 300 orang, tidak akan mampu menampung
seluruh mahasiswa/mahasiswi semester satu yang jumlahnya kurang lebih 1000-an. Meski
demikian, Al – Azhar tetap menjadi pilihan nomer satu sebagai pusat untuk menggali
ilmu dan pengetahuan – pengetahuan agama, itu terbukti bahwa al Azhar mampu
menjadi pencetak ulama – ulama besar di dunia yang disegani. Walaupun sistem
yang dianut terbilang manual, dan dengan sistem pembelajaran yang menggunakan
metode syarh kaamil (penjelasan
secara detail) dari dosen, dan nggak ada
sistem penugasan dalam bentuk makalah layaknya sistem perkuliahan yang ada di
Indonesia.
****
Pagi menyapa, hawa dinginnya mulai menusuk
sampai ke pori – pori tubuh, aku dan sebagian teman dari Indonesia menyempatkan
diri jalan – jalan ke area sekitar Al Azhar dan asrama putra Al Azhar.
Sepanjang jalan mulai ramai oleh kendaraan roda empat. Di Mesir sangat jarang
menemukan kendaraan beroda dua, kalaupun ada, hanya didominani motor vesva.
Terlihat dari kejahuan, berdiri kokoh gedung Daar El – Iftaa dan gedung Masyekho
(gedung yang menjadi tempat ngumpalnya Syaekh
– Syaekh Al Azhar dan gedung Mufti Mesir).
Memang kota El – Darrasah (lokasi
kampus putra Al Azhar dan Masjid Al Azhar) akan terlihat memukau indah jika
dipandang dari kejauhan, itu disebabkan karena di sebelah timur Al Azhar
terhampar bukit Al Azhar Park yang elok nan indah.
Al Azhar Park (Taman Al Azhar) merupakan salah
satu tempat wisata indah yang terletak di sebelah timur Universitas Al Azhar.
Suguhan bukit – bukit, aneka warna – warni bunga, pohon – pohon yang menghijau
dan sebuah danau menambah panorama keindahan Al Azhar Park. Dari puncak Al
Azhar Park jugalah kita bisa menikmati pemandangan sunset dan menyaksikan
hamparan bangunan – bangunan kuno Mesir dan juga gedung – gedung dengan tema
modern (old Cairo dam New Cairo). Dan tak kalah menariknya adalah Pasar Khan Khalili. Pasar ini merupakan
salah satu pusat perbelanjaan yang mempunyai nuansa tradisional Mesir, pasar
ini menjadi tujuan para wisatawan asing untuk berbelanja souvenir – souvenir
dan barang – barang antik khas Mesir.
Barisan cafe – cafe yang menghiasi area pekarangan Masjid Husain, tentunya
menjadi nilai tambah tersendiri bagi pasar ini. Tempat ini menjadi lokasi para
turis asing untuk bercengkrama sambil menikmati seduhan hangat ala Timur
Tengah.
Jam menunjukkan pukul 17.00 waktu Cairo. Itu
artinya sebentar lagi matahari akan meninggalkan langit sore.
“Ke Azhar Park yuk..!” ajakku kepada teman –
temanku.
“Rum, emangnya kamu nggak cape’apa, setelah berkeliling pasar Attabah dan Khan
Khalili?” tanya salah seorang temanku, yang sepertinya sudah tidak kuat lagi
melanjutkan penjela jahan ini.
“Ah, payah, baru segitu aja udah cape’gimana kalau mendaki gunung
Sinai?” Ujarku dengan sedikit nada yang mengejek.
Waktu semakin beranjak, warna kuning keemasan
mulai menghiasi langit kota Cairo. Angin bertiup kencang, hawa dinginnya mulai
menusuk sampai ke pori – pori tubuhku. Kami pun mempercepat langkah, takut
kehilangan momen untuk menikmati keindahan sunset kota Cairo.
“Ayizz
khamsah tadzaakir! (minta lima karcis).”
“Kullu
khamsah wa ‘ishriin geneh (semuanya 25 geneh)” Jawab penjaga loket, sambil menyerahkan lima lembar karcis
kepadaku.
Subhanallah, keindahan Azhar Park memang tak
terbantahkan, aliran sungai – sungai buatan, air mancurnya, hamparan danaunya,
pohon – pohon yang menghijau rindang, bunga – bunga yang bermekaran menjadikan taman
ini sebagai tujuan pertama jika ingin menikmati sejuknya pemandangan alam.
Belum lagi dengan suguhan sunsetnya yang begitu memukau.
“Yuk, ke puncak taman! Sunsetnya sudah mulai
merekahkan senyumnya, kita nggak boleh
ketinggalan untuk menikmatinya.” Kataku kepada teman – temanku sambil melangkah
ke arah puncak Azhar Park.
Puncak Azhar Park memang telah didesain khusus
dengan sebuah tembok yang berbentuk lingkaran. Dari puncak itulah kita
bisa melihat kemegahan benteng Salahuddin yang masih berdiri kokoh, dan juga
bisa menikmati pemandangan sunset serta melihat hamparan bangunan – bangunan
kota kuno dan kota modern Mesir (Old Cairo dan New Cairo).
Senja perlahan beranjak pergi, dan malam mulai
menyelimuti. Taman Al Azhar mulai terhiasi oleh cahaya bola – bola lampu, dan
ternyata, pemandangan Azhar Park di malam hari tak kalah indahnya “Subhanallah,
alangkah indahnya ciptaanMu ya Allah” gumamku dalam hati. Sayup – sayup suara
adzan magrib mulai berkumandang. Kami pun memutuskan untuk menyudahi
petualangan ini.
****
Inilah sepenggal
kisahku di negeri para nabi. Memupuk rindu dengan kampung halaman. Merajut asa
impian Ibu dan simbokku. Dan merawat mimpiku mencapai gelar LC.
Helooo...
BalasHapusNih aku komen nih.... *tebar duit receh
Suka ide ceritanya... tapi aku rada bosen bacany... panjaaanggg dan laamaaaaa bgt rasany. Hehehe... kayany bsa dipadetin lagi deh. Tp aku g ngerti2 amat jg. Hoho...
Eh ini bukan pnya kamu ya???
Ini Cerpen saya,,, Harap maklum,,,saya masih penulis pemula
BalasHapus