Senin, 10 November 2014

Rangga?

#KisahNovember untuk @KampusFiksi




Bandara Soekarno-Hatta, 2002.

Rangga berjalan perlahan mengikuti langkah kaki Ayahnya. Tak mampu lagi menoleh ke belakang. Ke arah Cinta. Tapi, hati kecil Rangga memaksanya untuk kembali menatap Cinta sekali lagi.Untuk terakhir kalinya.

“Ayah, Ayah tau alamat rumah kita di sana?” Tanya Rangga setengah berbisik.

“Iya,” jawab Ayahnya sambil melirik ke arah Rangga.

“Bisa tuliskan di sini? Aku mau kasihin ke Cinta.” Rangga memberikan sepotong kertas kecil dari bloknotnya.

Setelah Ayahnya menulis alamat rumah mereka di sana, Rangga berlari menuju Cinta yang masih mentapnya dengan lusuh.

“Ada yang ketinggalan?”

Rangga memberikan kertas itu lalu mengepalkan tangannya pada Cinta.

“Kalau suatu saat kamu liburan ke New York, mampir yah.” Rangga tersenyum kaku, menyembunyikan kesedihannya.

***
New York, 2014.

“Mister Rangga, saya membutuhkan jasa anda untuk  event bulan depan,” ujar seorang berambut pirang yang mengenakan jas hitam rapi.

“Bulan depan? Apa tidak bisa ditunda? Saya ingin pulang ke negara asal saya,” jawab Rangga.

“Ini event penting, saya harap anda bisa memutuskannya dengan bijak.”

“Saya akan memikirkannya lagi, terima kasih sebelumnya.”

Hati Rangga bergejolak. Baru saja ia dapat kesempatan untuk pulang ke Indonesia, karena liburan dari kampusnya. Tapi, lagi-lagi pekerjaan memaksanya untuk tetap  menetap di sini.

Baju dan beberapa barang yang sudah ia rapikan di koper, harus ia keluarkan karena perpulangannya ke tanah air ditunda untuk kesekian kalinya.

Jari-jari Rangga berhenti pada sebuah buku usang, yang menarik memorinya ke masa-masa SMA. Buku yang berjudul ‘AKU’.

Klise-klise kenagan bersama perempuan bernama Cinta kembali menguak relung jiwanya yang telah lama ia pendam. Cinta.

Perempuan yang mampu membombardir hati dinginnya. Ya, itu dia. CIinta.

Alunan suara merdu Adele menggema dari iPad Rangga. Sebuah panggilan masuk.

Telunjuk Rangga menggeser tombol hijau dengan perlahan, setelah melihat nomer yang tertera pada layar iPad-nya adalah nomer telepon Ayahnya.

“Rangga, bisa kamu ke rumah sekarang?”

“Ada apa, Yah?” Rangga penasaran.

“Ada seseorang yang mau ketemu sama kamu.”

Ah, paling kerabat Ayah atau perempuan kesekian yang Ayah  jodohkan padaku,” batin Rangga.

“Aku masih banyak kerjaan sampai lusa di sini, Yah.”

“Kamu nggak nyeesel?”

“Ah Ayah, nanti kalau semua kerjaan di sini udah beres juga aku ke sana kok.” Rangga mencoba menutupi kekhawatiran Ayahnya.

 “Ya sudah kalau gitu.”

***
Pemandangan indah di malam hari kota New York, sangat meneduhkan hati. Kerlip pantulan cahaya-cahaya mobil, dan rintik-tintik hujan membuat padupadan yang ciamik untuk menemani kerinduan Rangga. Rasa rindunya pada Cinta.

Semua orang berjalan dengan langkah lebar, agar sampai lebih cepat dan terhindar dari derai hujan yang yang sejak tadi mengguyur kota ini.

Dengan kuyup Rangga masuk ke apartemennya. Melepas coat yang sudah menepis air hujan dari tubuhnya, lalu membaringkan tubuh lunglainya ke kasur.

Dering tanda pesan masuk melalui WhatsApp bergema di kamar Rangga.

Tanggan Rangga mencoba menggapai iPad-nya dengan lemas. Seharian ini, tubuh Rannga dipaksa untuk bekerja ekstra. Akibatnya, sekarang ia tak berdaya di tempat tidur.

“Rangga?”

Rangga mengeryitkan dahinya, merasa asing dengan nomer telepon ini. Sang pemilik juga tidak memajang fotonya.

“Sorry?” Balas Rangga dengan mata yang setengah terpejam.

“Ini Cinta. Aku dari kemarin di NY. Tapi, kayaknya kamu lagi sibuk ya. Besok aku pualng ke Indonesia, sebelum pulang aku mau pamitan aja. Mungkin lain kali kita bisa ketemu.”

Rangga sudah terpejam lelap tanpa sempat membaca pesan dari Cinta.

Angin sunyi New York menjadi saksi bahwa Cinta ada di kota ini.

Hati Cinta merasakan perih yang tak terkira. Ia pikir, akan bisa bertemu Rannga di sini. Meski sebentar saja.

Mungkin benar, rasa cinta jika tak lagi dipupuk dan disaram pasti akan layu.   Lalu mati. Duw belas tahun sudah masa-masa SMA kala itu berlalu begitu saja. Tapi, tidak bagi Cinta yang maaih menyimpan nama Rangga di hatinya. Sebagai penjaga hati dari laki-laki lain yang bergantian mencoba meminangnya.

***

Mata Rangga yang masih lesu terbelalak melihat pesan dari Cinta malam tadi.
 
Rangga mencoba menelepon Cinta. Namun handphone-nya tidak aktif.

Dengan cepat Rangga mengambil pakaian seadanya, kemudian bergegas menuju bandara.

Di perjalanan, hatinya terus menghardik dirinya sendiri yang tak mampu menahan kantuk sedikit saja. Rangga mulai mengira-ngira, bandara mana yang akan ia gunakan jika ingin ke Indonesia. Pasti di situlah Cinta sekarang.

Setelah sampai di bandara. Mata Rangga mencari-cari sosok Cinta di ruang tunggu. Namun hasilnya nihil. Rangga menyesal menolak permintaan Ayahnya kala itu. Ia tak pikir panjang saat Ayahnya menyuruh pulang.

“Apa bulan di New York beda sama bulan di Indoensia?” Suara Cinta menggema dari arah belakang.

Rangga berbalik untuk memastikannya.
“Cinta?”


Tidak ada komentar:

Posting Komentar