Situasi warung kopi dibilangan Kalideres tidak terlalu ramai hari itu. Hanya suara klakson mobil, motor, dan deruan pesawat terbang yang lalu lalang tiap beberapa menit sekali.
Panas matahari seakan seirama dengan panas situasi yang ada di kontrakan petak di sini.
"Kopi satu." Seorang Bapak berkumis duduk di bangku kayu sebrlah kiri.
"Kopi item apa susu, Mas?" Ibu-ibu pemilik warung siap meracik pesanan.
"Item."
Di ujung kanan ada seseorang pemudi berkopiah sedang membaca buku islami yang tidak jelas terbaca judul bukunya karena dilipat. Hanya sepintas terlihat ada beberapa potongan ayat pada halaman-halamannya.
"Buku apa, Dek?" Tanya Bapak berkumis tadi sambil melirik ke arah buku pemuda itu.
"Metodologi Islam, Pak. Bapak Suka baca juga?"
"Iya tapi bukan buku Islami. Buku-buku relistis dan relavan saja," Bapak berkumis itu memutar bola matanya ke arah jalan raya yang mulai lengang.
"Maaf, maksud Bapak?"
"Buku-buku yang bisa diterima akal sehat saja."
"Agama memang ilmu yang tidak hisa diterima akal sehat Pak. Tapi, dia realistis dan relavan."
"Kata siapa? Kata manusia, kan?" Pandangan Bapak tadi menyorot Pemuda itu dengan tajam.
"Allah Esa san dia maha kuasa, kita tidak usah memikirkan Sang Pencipta tapi pikirkan apa yang Ia ciptakan untuk kita."
"Sekarang sya tanya yah, Dek. Tuhan itu apa? Apakah molekul? Dzat? Partikel?"
Pesawat berwarna putih bergaris hijau muda melintas.
"Pak, apa Bapak percaya di dalam pesawat itu ada yang mengemudi?"
"Ya, jelas." Bapak itu menaikan nada suaranya.
"Begitu juga dengan Allah, Pak. Kita tidak perlu lihat bentuk dan rupanya. Yang kita perlukan hanya yakin. Iman," Anak muda tadi melrtakan kopiahnya tanda sedang menahan sesuatu yang meluap dari kepalanya. Emosi.
"Tapi itu kan kata manusia? Manusia yang berkata ini-itu. Tandanya kita hanya mengikuti manusia? Lalu bagaimana dengan yang dikatakan tentang Sang pencipta?"
Pemuda tadu menarik nafas. " Pak, apa Bapak pernah melihat pikiran Bapak? Apa Bapak pernah melihat akal dan IQ Bapak? Padahal itu terukur, kan?"
Bapak tadi diam, Kopi hitam pesanannya datang dengan asap yang masih mengepul. Lalu, Bapak itu menyeruput kopi hitamnya.
"Ini soal rasa," Kopinya diletakan di meja lalu Bapak itu kembali melirik ke arah Pemuda tadi. "Rasa simpati yang dibuat manusia terhadap manusia itu sendiri menjadikan mereka percaya apa yang dikatakan oleh manusia itu."
Pemuda itu langsung memotong. "Pak, Nabi itu terlihat seperti manusia tapi nyatanya tidak seprtti manusia." Pemuda tadi bangkit dari posisi duduknya. "Lebih baik Bapak bersyahadat lagi Pak. Sebelum nyawa diujung tenggorokan nanti."
"Saya belum selesai."
"Selesaikan dulu kepahaman Bapak, baru saya dengarkan. Kalau salah paham mungkin masih bisa diperbaiki tapi kalau pahamnya salah sudah tidak bisa ditolerir."
"Loh ini hak asasi manusia, kan? Kebebasan saya bersuara?"
"Hak asasi manusia juga buatan manusia, Pak. Pemikiran manusia yang belum bisa jadi patokan akhirat."
Semoga menginpirasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar