Np: Ramadhan tiba - Opik
Di
Amerika, Ramadhan datang diam-diam. Seperti angin. Tidak ada suara beduk
bertalu-talu yang mengingatkan tibanya ‘tamu
agung’ itu, bulan yang
dinanti-nantikan umat Islam. Bahkan azan pun tidak terdengar di seluruh jalan Amerika, tidak ada
Mesjid yang mengumandangkan azan melalui pengeras suara. Maklum saja, ini
negara yang menganggap agama adalah urusan pribadi. Panggilan solat yang terdengar
nyaring oleh tetangga-tetangga non-Muslim pasti akan membuat mereka merasa
terusik dan mengadukan hal itu pada polisi.
Bulan
suci datang menjelang akhir musim gugur dan minggu terakhirnya berhimpitan
dengan awal musim dingin. Karena matahari terus bergulir ke selatan, siang hari
pun semakin pendek. Hal ini aku rasakan bersama penduduk Muslim di sebagian
besar wilayah Amerika. Termasuk Mildwest. Di Dekalb misalnya, sebuah kota kecil
yang berjarak 100 kilometer di sebelah barat Chicago. Pada hari pertama puasa di
sini, solat subuh jatuh pada
pukul 05.37 (berarti imsak pukul 05.27) sementara salat magrib pukul 16.26
Jadi, puasa berlangsung sekitar 11 jam.
“Sumaya,
kamu kangen puasa di rumah nggak?” Resti memecahkan konsentrasiku yang sedang
menikmati hujan salju dari balik jendela besar apartemen.
Aku
menganggukan kepala dengan wajah muram. “Banget, Ti.”
“Me too.” Pipi lembut Resti mulai
dibasahi oleh air matanya yang perlahan mengalir deras. Perasaan yang Resti alami, sama dengan perasanku sat
ini.
Aku
hanya bisa memeluknya erat dan mengusap punggungnya yang hangat. Aroma tubuh Resti yang sangat khas-something too sweet-membuat tubuhku
sedikit rileks, wewaangian ini sama persis dengan wewangian yang biasa
orangtuaku pakai. Aku seperti memeluk Ibu.
Wajar saja jika para mahasiswa tingkat satu
yang menuntut ilmu di Northen Illinois
University (sering disingkat
NIU) seperti kami merindukan suasana
Ramadhan di tanah air, Indonesia. Karena di sini sama sekali tak ada gemuruh
anak-anak penuh kebisingan,
dengan alat-alat perkusinya yang membangunkanku saat sahur, tak ada acara sahur
di teve yang biasaku nikmati bersama keluarga, dan tak ada parsel-parsel yang
terbungkus rapi berisikan berbagai macam makanan manis berbaris di meja.
“Aku
tidak merasakan suasana bulan puasa di sini,” Perempuan keturunan Sunda itu itu
mengusap air matanya perlahan. “Aku kangen sahur sama masakan Ibu.”
“Ini
resiko yang harus kita ambil, Ti” Aku berpura-pura tegar agar Resti tak semakin
sedih dan kuat menjalani bulan puasa pertama ini di Negeri Paman Sam. “Aku juga
kangen sama jajanan tajil depan rumah.”
Bagi
para pendatang Muslim, kedatangan Ramadhan mengingatkan kami akan kampun
halaman dan kenangan manis masa kecil dulu. Para pelajar muslim dari Indonesia,
akan merindukan nikmatnya kolak pisang atau candil sebagai tajil ketika berbuka
puasa, riuhnya tadarus Qur’an pada sebagian malam lewat pengeras suara mesjid,
dan dar-der-dor-nya suara petasan.
Aku
dan Resti hanya bisa berkirim e-mail mengucapkan selamat ber-saum (“Ramadan
Mubarak!”) dan saling mendoakan agar saum-nya penuh berkah pada keluarga dan saudara
kami masing-masing di Indonesia. Aku mingirmkan sebuah voice note untuk keluargaku. “Assalamu
alaikum, Ibu sama Ayah sehat? Adik-adik nggak bandel, kan? Suamaya minta doa
dan restunya ya Yah.. Bu.. Semoga Suamaya kuat puasa di sini tanpa sayur bayam
khas Ibu dan bentakan Ayah kalau Sumaya malas sahur. Aku sayang Ibu, Ayah, dan
adik-adik.” Seketika air mataku menetes saat mendengar voice note itu memutarkan suaraku sebelum terkirim.
Lalu, mereka membalas dengan kiriman rekaman
vidio yang memperlihatkan aktifitas mereka di rumah untuk meyambut bulan puasa,
sorot mata Ayah dan Ibu menyiratkan bahwa mereka juga merindukan kehadiranku di
sana. Tapi hal itu sedikit mengobati kerinduan kami. Ya, sedikit.
Kami lebih sering berbuka puasa di mesjid
kampus dan biasa bertadarus untuk menunggu waktu buka tiba. Persaudaraan dengan
sesama Muslim terasa lebih hangat karena banyak keluarga muslim di Dekalb
saling bergilir menyumbang makanan dan minuman untuk berbuka Makanan pembuka (tajil) biasanya adalah
kurma.
Meski
begitu, aku masih sering mendengar isak tangis Resti yang merindukan keluarga
dan masakan Ibunya di Bandung. Tidak begitu berbeda dengan Resti, aku lebih
sering menangis ketika sedang solat malam karena teringat Ayah, ibu, dan ketiga
adikku yang masih kecil.
Untuk
mengalihkan kerinduan itu, kami berdua sering berbincang-bincang dengan orang
Indonesia sambil menunggu Isya tiba, Ibu Evi misalnya. Ibu rumah tangga yang
berasal dari Aceh itu sudah menjalani bulan puasa ketiganya di Amerika.
“Awalnya
memang saya sangat merindukan suasana bulan puasa di Indonesia,” Wanita paruh
baya iitu menarik nafas sebelum melanjutkna kata-katanya. “Tapi pada akhirnya
saya menemukan cara untuk mengatasinya.”
“Bagaimana
caranya, Bu?” Aku dengan sigap bertanya.
“Memutar
musik gambus modern di rumah, saya sering melakukan itu dulu saat tinggal di
Indonesia.”
Resti
menaruh tangan kanan di bawah mulutnya, tanda sedang memikirkan sesuatu. “Jadi
maksud Ibu kita harus ngelakuin hal yang biasa kita lakuin saat bulan puasa di
Indonesia?” Tebak Resti cepat.
“Anak
yang pintar, let’s try!” Ibu Evi
tersenyum ramah pada kami.
Ya,
meskipun kerinduan kami pada tanah air itu tak akan pernah terbayar oleh apapun
tapi paling tidak, berbagi kerinduan antar sesama warga Indonesia di sini
sangat menyenangkan untuk kami.
Aku
sering berpikir Mengapa pengalaman puasa pertama di negeri orang cenderung
menjadi kenangan abadi? Penyebabnya adalah salah satu prinsip persepsi , “hukum
kepertamaan” (law of primacy).
Sesuatu yang dialami pertama kali itu biasanaya sering kali diingat dan
dikenang. Hal ini aku pelajari dari dosen ilmu komunikasiku di NIU. Dalam
berpuasa, banyak diantara kita yang Muslim sejak lahir mungkin masih mengingat
bagaimana kita menahan lapar dan haus pertama kali, meskipun samar-samar. Hukum
kepertamaan itu sangat dirasakan oleh orang yang baru masuk Islam saat mereka
dewasa dan merasakan bagaimana puasa pertama kali. Di Dekalb pun banyak mualaf yang membagi kisahnya pada kami.
Carol
adalah salah satunya, mahasiswa politik di NIU itu sering bmenceritakan
bagaimana caranya beraktifitas di negeri Paman Sam ini saat bulan puasa. Bahkan
yang mengejutkian dia hanya berpuasa sendirian di antara keluarganya, karena
keluarganya masih memeluk agama Kristen. Carol mengahabiskan waktu berpuasanya dengan
cara membaca buku-buku tentang Islam agar memperdalam keislamannya. Serta
menyelesaikan tadarus Al-Qur’am setiap usai salat fardu.
Di
sini, Aku dan Resti banyak sekali mengenyam asam-manis umat muslim yang
menjalani puasa di negeri yang bukan mayoritas beragama Islam. Perjuangan,
semangat, dan niat ikhlas menjadi tiang mereka untuk terus berpegangan. Dan
betapa malunya aku jika mendengar anak-anak yang sudah cukup umur tapi masih
tidak melaksanakan berpuasa dengan alasan “takut kelaparan dan kehausan”.
Kisah
ini diangkat dari kisah nyata saudara perempuan saya yang menuntut ilmu di
negeri Paman Sam, semoga dapat bermanfaat untuk menjadikan motivasi bahwa kamu
tidak sendiri berjuang melawan kerinduan saat bulan puasamu tiba dan jauh dari
keluarga.
Saya menikmati membaca tulisan ini. Hmm... Sederhana namun bermakna. Istilah saya, bergizi untuk dibaca. Memang, tak bisa dipungkiri, saya juga merasakan hal serupa saat bekerja merantau jauh dari kampung, itu baru luar kota. Belum sampai belahan dunia. Terimaksih sudah membuat kenangan saya kembali.
BalasHapusDi luar ekspektasiku, tadinya aku pikir bakal ketawa ngakak baca cerpenmu, seperti biasanya. Ternyata tidak hahha....
BalasHapusAku suka narasimu, Zu. Kalem. Settingnya dpt. Aku jadi pengin balik ke bandung.
Tapi, sama kayak dulu, typomu itu lho. Selalu bertebaran hampir di tiap paragraf.
Satu lagi, bagian ini:
"Aroma tubuh Resti yang sangat khas-something too sweet-membuat tubuhku sedikit rileks."
Emn dash itu harusnya strip dua kali,
"Aroma tubuh Resti yang sangat khas--something too sweet--membuat tubuhku sedikit rileks."
Sekian. :)