Kamis, 18 Juni 2015

Ramadhan Datang Ketika Salju Turun


Np: Ramadhan tiba - Opik

Di Amerika, Ramadhan datang diam-diam. Seperti angin. Tidak ada suara beduk bertalu-talu yang mengingatkan tibanya tamu agung itu, bulan yang dinanti-nantikan umat Islam. Bahkan azan pun tidak terdengar di seluruh jalan Amerika, tidak ada Mesjid yang mengumandangkan azan melalui pengeras suara. Maklum saja, ini negara yang menganggap agama adalah urusan pribadi. Panggilan solat yang terdengar nyaring oleh tetangga-tetangga non-Muslim pasti akan membuat mereka merasa terusik dan mengadukan hal itu pada polisi.
Bulan suci datang menjelang akhir musim gugur dan minggu terakhirnya berhimpitan dengan awal musim dingin. Karena matahari terus bergulir ke selatan, siang hari pun semakin pendek. Hal ini aku rasakan bersama penduduk Muslim di sebagian besar wilayah Amerika. Termasuk Mildwest. Di Dekalb misalnya, sebuah kota kecil yang berjarak 100 kilometer di sebelah barat Chicago. Pada hari pertama puasa di sini, solat subuh jatuh pada pukul 05.37 (berarti imsak pukul 05.27) sementara salat magrib pukul 16.26 Jadi, puasa berlangsung sekitar 11 jam.
“Sumaya, kamu kangen puasa di rumah nggak?” Resti memecahkan konsentrasiku yang sedang menikmati hujan salju dari balik jendela besar  apartemen.
Aku menganggukan kepala dengan wajah muram. “Banget, Ti.”
Me too.” Pipi lembut Resti mulai dibasahi oleh air matanya yang perlahan mengalir deras. Perasaan yang Resti alami, sama dengan perasanku sat ini.
Aku hanya bisa memeluknya erat dan mengusap punggungnya yang hangat. Aroma tubuh Resti yang sangat khas-something too sweet-membuat tubuhku sedikit rileks, wewaangian ini sama persis dengan wewangian yang biasa orangtuaku pakai. Aku seperti memeluk Ibu.
 Wajar saja jika para mahasiswa tingkat satu yang menuntut ilmu di Northen Illinois University  (sering disingkat NIU)  seperti kami merindukan suasana Ramadhan di tanah air, Indonesia. Karena di sini sama sekali tak ada gemuruh anak-anak penuh kebisingan, dengan alat-alat perkusinya yang membangunkanku saat sahur, tak ada acara sahur di teve yang biasaku nikmati bersama keluarga, dan tak ada parsel-parsel yang terbungkus rapi berisikan berbagai macam makanan manis berbaris di meja.
“Aku tidak merasakan suasana bulan puasa di sini,” Perempuan keturunan Sunda itu itu mengusap air matanya perlahan. “Aku kangen sahur sama masakan Ibu.”
“Ini resiko yang harus kita ambil, Ti” Aku berpura-pura tegar agar Resti tak semakin sedih dan kuat menjalani bulan puasa pertama ini di Negeri Paman Sam. “Aku juga kangen sama jajanan tajil depan rumah.”
Bagi para pendatang Muslim, kedatangan Ramadhan mengingatkan kami akan kampun halaman dan kenangan manis masa kecil dulu. Para pelajar muslim dari Indonesia, akan merindukan nikmatnya kolak pisang atau candil sebagai tajil ketika berbuka puasa, riuhnya tadarus Qur’an pada sebagian malam lewat pengeras suara mesjid, dan dar-der-dor-nya suara petasan.
Aku dan Resti hanya bisa berkirim e-mail mengucapkan selamat ber-saum (“Ramadan Mubarak!”) dan saling mendoakan agar saum-nya penuh berkah pada keluarga dan saudara kami masing-masing di Indonesia. Aku mingirmkan sebuah voice note untuk keluargaku. “Assalamu alaikum, Ibu sama Ayah sehat? Adik-adik nggak bandel, kan? Suamaya minta doa dan restunya ya Yah.. Bu.. Semoga Suamaya kuat puasa di sini tanpa sayur bayam khas Ibu dan bentakan Ayah kalau Sumaya malas sahur. Aku sayang Ibu, Ayah, dan adik-adik.” Seketika air mataku menetes saat mendengar voice note itu memutarkan suaraku sebelum terkirim.
 Lalu, mereka membalas dengan kiriman rekaman vidio yang memperlihatkan aktifitas mereka di rumah untuk meyambut bulan puasa, sorot mata Ayah dan Ibu menyiratkan bahwa mereka juga merindukan kehadiranku di sana. Tapi hal itu sedikit mengobati kerinduan kami. Ya, sedikit.
 Kami lebih sering berbuka puasa di mesjid kampus dan biasa bertadarus untuk menunggu waktu buka tiba. Persaudaraan dengan sesama Muslim terasa lebih hangat karena banyak keluarga muslim di Dekalb saling bergilir menyumbang makanan dan minuman untuk berbuka  Makanan pembuka (tajil) biasanya adalah kurma.
Meski begitu, aku masih sering mendengar isak tangis Resti yang merindukan keluarga dan masakan Ibunya di Bandung. Tidak begitu berbeda dengan Resti, aku lebih sering menangis ketika sedang solat malam karena teringat Ayah, ibu, dan ketiga adikku yang masih kecil.
Untuk mengalihkan kerinduan itu, kami berdua sering berbincang-bincang dengan orang Indonesia sambil menunggu Isya tiba, Ibu Evi misalnya. Ibu rumah tangga yang berasal dari Aceh itu sudah menjalani bulan puasa ketiganya di Amerika.
“Awalnya memang saya sangat merindukan suasana bulan puasa di Indonesia,” Wanita paruh baya iitu menarik nafas sebelum melanjutkna kata-katanya. “Tapi pada akhirnya saya menemukan cara untuk mengatasinya.”
“Bagaimana caranya, Bu?” Aku dengan sigap bertanya.
“Memutar musik gambus modern di rumah, saya sering melakukan itu dulu saat tinggal di Indonesia.”
Resti menaruh tangan kanan di bawah mulutnya, tanda sedang memikirkan sesuatu. “Jadi maksud Ibu kita harus ngelakuin hal yang biasa kita lakuin saat bulan puasa di Indonesia?” Tebak Resti cepat.
“Anak yang pintar, let’s try!” Ibu Evi tersenyum ramah pada kami.
Ya, meskipun kerinduan kami pada tanah air itu tak akan pernah terbayar oleh apapun tapi paling tidak, berbagi kerinduan antar sesama warga Indonesia di sini sangat menyenangkan untuk kami.
Aku sering berpikir Mengapa pengalaman puasa pertama di negeri orang cenderung menjadi kenangan abadi? Penyebabnya adalah salah satu prinsip persepsi , “hukum kepertamaan” (law of primacy). Sesuatu yang dialami pertama kali itu biasanaya sering kali diingat dan dikenang. Hal ini aku pelajari dari dosen ilmu komunikasiku di NIU. Dalam berpuasa, banyak diantara kita yang Muslim sejak lahir mungkin masih mengingat bagaimana kita menahan lapar dan haus pertama kali, meskipun samar-samar. Hukum kepertamaan itu sangat dirasakan oleh orang yang baru masuk Islam saat mereka dewasa dan merasakan bagaimana puasa pertama kali. Di Dekalb pun banyak mualaf yang membagi kisahnya pada kami.
Carol adalah salah satunya, mahasiswa politik di NIU itu sering bmenceritakan bagaimana caranya beraktifitas di negeri Paman Sam ini saat bulan puasa. Bahkan yang mengejutkian dia hanya berpuasa sendirian di antara keluarganya, karena keluarganya masih memeluk agama Kristen. Carol mengahabiskan waktu berpuasanya dengan cara membaca buku-buku tentang Islam agar memperdalam keislamannya. Serta menyelesaikan tadarus Al-Qur’am setiap usai salat fardu.
Di sini, Aku dan Resti banyak sekali mengenyam asam-manis umat muslim yang menjalani puasa di negeri yang bukan mayoritas beragama Islam. Perjuangan, semangat, dan niat ikhlas menjadi tiang mereka untuk terus berpegangan. Dan betapa malunya aku jika mendengar anak-anak yang sudah cukup umur tapi masih tidak melaksanakan berpuasa dengan alasan “takut kelaparan dan kehausan”.

Kisah ini diangkat dari kisah nyata saudara perempuan saya yang menuntut ilmu di negeri Paman Sam, semoga dapat bermanfaat untuk menjadikan motivasi bahwa kamu tidak sendiri berjuang melawan kerinduan saat bulan puasamu tiba dan jauh dari keluarga.

2 komentar:

  1. Saya menikmati membaca tulisan ini. Hmm... Sederhana namun bermakna. Istilah saya, bergizi untuk dibaca. Memang, tak bisa dipungkiri, saya juga merasakan hal serupa saat bekerja merantau jauh dari kampung, itu baru luar kota. Belum sampai belahan dunia. Terimaksih sudah membuat kenangan saya kembali.

    BalasHapus
  2. Di luar ekspektasiku, tadinya aku pikir bakal ketawa ngakak baca cerpenmu, seperti biasanya. Ternyata tidak hahha....

    Aku suka narasimu, Zu. Kalem. Settingnya dpt. Aku jadi pengin balik ke bandung.

    Tapi, sama kayak dulu, typomu itu lho. Selalu bertebaran hampir di tiap paragraf.

    Satu lagi, bagian ini:
    "Aroma tubuh Resti yang sangat khas-something too sweet-membuat tubuhku sedikit rileks."

    Emn dash itu harusnya strip dua kali,
    "Aroma tubuh Resti yang sangat khas--something too sweet--membuat tubuhku sedikit rileks."

    Sekian. :)

    BalasHapus